Selasa 25 May 2021 06:21 WIB

Misbakhun Sarankan Menkeu Benahi Cara Pemungutan Pajak

Menurut dia, ini lebih baik ketimbang menaikkan PPN.

Pajak/ilustrasi
Foto: Pajak.go.id
Pajak/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR M Misbakhun meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani seksama soal perpajakan.

Misbakhun dan Menkeu bertemu secara formal saat Komisi XI DPR menggelar rapat kerja dengan Kemenkeu dan jajarannya, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/5).

Misbakhun dalam rapat beragendakan evaluasi atas kebijakan Kementerian 

Keuangan itu mengkritisi rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 15 persen pada tahun depan. Politikus partai Golkar tersebut bertanya soal alasan di balik rencana itu.

Menurut Misbakhun, selama ini masyarakat tidak hanya terbebani PPN maupun pajak penjualan atas barang mewah (PPNBM). Di lapangan, kata dia, masyarakat juga dibebani masalah-masalah administrasi serta pungutan yang tak kredibel.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu menyatakan hal yang selama ini tak pernah disentuh justru cara memperbaiki sistem administrasi dan pemungutan yang lebih sederhana namun tegas. 

"Sampai sekarang saya belum pernah menemukan reformasi administrasi sistem IT pemungutan ini sehingga jadi lebih baik," ujar Misbakhun.

Menurutnya, Kemenkeu harus memiliki opsi di luar menaikkan tarif pajak. "Misalnya, membuat sistem pajak penjualan yang lebih sederhana," kata dia. 

Alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) itu lalu menyebut opsi lain di luar kebijakan tentang kenaikan tarif pajak. Misalnya, mengubah full credit system yang selama ini dipakai oleh negara ke selected credit system.

"Ini harus dipikirkan. Kenapa tiba-tiba (Kemenkeu) jumping ke ide perlu menaikkan tarif pajak?" ucapnya.

Misbakhun mengatakan, kenaikan tarif pajak tidak serta-merta membuat pendapatan dari perpajakan meningkat. Sebab, kenaikan tarif pajak justru bisa kontraproduktif. 

"Begitu tarif pajak dinaikkan, orang akan berpikir ulang untuk berbelanja. Belum lagi kontraksi kenaikan itu ke recovery ekonomi kita belum matang," tambah Misbakhun.

Selain soal PPN, Misbakhun juga meminta SMI melihat perbedaan antara tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak). Menurutnya, dua hal itu berbeda. 

"Penghindaran adalah upaya melakukan tax planning. Evasion adalah kriminal perpajakan. Menyamaartikan itu akan memberikan sinyal bahwa kita kurang dalam memberikan ruang-ruang tax planning dalam aturan kita," kata dia.

Misbakhun juga memberi masukan kepada SMI tentang pentingnya konsistensi dalam membuat kebijakan dan tak membuat presiden merasa dipermalukan. 

Wakil rakyat asal Pasuruan, Jawa Timur, itu mencontohkan kritikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas kebiasaan pemda menyimpan APBD di bank ketimbang membelanjakannya. Namun, pemerintah pusat justru memiliki sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan (SILPA) tingga pada 2020, yakni Rp 243 triliun. 

"Artinya, pusat yang justru mengajarkan tak membelanjakan. Kalau kita kritik daerah tak membelanjakan, pemerintah pusat artinya apa? Tak terserapnya anggaran artinya government goal is not working," kata Misbakhun.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement