REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memastikan tidak akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) pada tahun ini. Sebab pemerintah masih dalam fokus terhadap pemulihan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan berbagai jenis pajak itu tidak akan dilakukan pada tahun ini karena pemerintah tidak bisa langsung mengambil kebijakan di tengah kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19.
"Mengenai wacana PPN dan lainnya, kita tuh kalau pun mau bicarakan tentang UU KUP dan lainnya, kan tidak berarti hari ini akan bisa berjalan. Jadi nanti akan kita bahas di RUU KUP, jadi pasti tidak hari ini (naik), tidak tahun ini tiba-tiba naik," ujarnya saat rapat Komisi XI DPR seperti dikutip Selasa (25/5).
Bendahara negara itu menjelaskan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) kelima atau UU Nomor tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) di dalamnya terdapat rencana kenaikan tarif PPN tidak serta merta bisa langsung diaplikasikan dalam waktu dekat juga.
Sri Mulyani menyatakan kenaikan tarif PPN dan umumnya RUU KUP merupakan langkah jangka menengah atau medium term dari pihaknya untuk kembali membuat APBN lebih sehat. Oleh karena itu, dia meminta masyarakat untuk membedakan fokus pemerintah hari ini dan di masa depan.
"Kami sendiri sangat aware mengenai fokus kita hari ini pemulihan ekonomi. Namun kalau kita bicara tentang uu, tentang medium term kita mau ke mana, fokus kami hari ini ingin memulihkan ekonomi dan kami tetap commit terhadap itu," jelasnya.
Dalam jangka menengah, menurutnya, pemerintah tetap ingin fokus agar penerimaan pajak bisa makin sehat dan berkesinambungan. Namun dalam jangka pendek, pemerintah tetap ingin memulihkan ekonomi sambil bersiap untuk menghadapi masa depan.
"Kita ingin tax kita sehat, sustainable, dan adil tentu saja dan kemudian APBN kita sehat juga. Jadi nanti akan kita bahas RUU KUP tersebut jadi pasti tidak hari ini, tidak tahun ini tiba-tiba naik PPN itu tidak pasti," ungkapnya.
Dengan penerapan multi tarif PPN, fasilitas PPN akan diberikan tarif yang lebih rendah bagi barang/jasa tertentu. Sedangkan barang-barang yang dianggap mewah akan dikenakan tarif PPN yang lebih besar, serta PPN final barang/jasa tertentu.
Menurutnya rencana penerapan multi tarif akan menyesuaikan dengan kepentingan pemerintah dalam mengenakan pajak bagi sektor-sektor tertentu. Menurut dia, rezim multi tarif PPN ini akan lebih comparable dan kompetitif dibandingkan negara lain.
"Ada multi tarif yang menggambarkan kepentingan afirmasi, kita juga perlu memberikan PPN yang lebih rendah barang jasa tertentu, tapi juga memberikan PPN yang lebih tinggi barang mewah, dan PPN final bisa dilakukan untuk barang jasa tertentu," ucapnya.
Sebelumnya, wacana kenaikan tarif PPN hingga PPh muncul karena pemerintah ingin mengubah aturan tersebut dan menuangkannya di RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Saat ini, RUU tersebut sudah diserahkan ke DPR. Badan legislatif juga sudah memasukkan RUU tersebut ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Hal ini sempat membuat publik khawatir bahwa kenaikan berbagai jenis pajak akan segera dilakukan oleh pemerintah.