Rabu 26 May 2021 12:33 WIB

Rekayasa Demografis Israel di Al-Aqsa dan Pengusiran Muslim

Israel memberlakukan UU diskriminatif untuk usir Muslim dari Yerusalem.

Warga Palestina lari dari bom suara yang dilemparkan oleh polisi Israel di depan kuil Dome of the Rock di kompleks masjid al-Aqsa di Yerusalem, Jumat (21/5), ketika gencatan senjata mulai berlaku antara Hamas dan Israel setelah perang 11 hari. .
Foto: AP / Mahmoud Illean
Warga Palestina lari dari bom suara yang dilemparkan oleh polisi Israel di depan kuil Dome of the Rock di kompleks masjid al-Aqsa di Yerusalem, Jumat (21/5), ketika gencatan senjata mulai berlaku antara Hamas dan Israel setelah perang 11 hari. .

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Syed Iftikhar

ANKARA -- Upaya Israel untuk merekayasa perubahan demografis dan mengendalikan Kompleks al-Aqsa di kota suci Yerusalem memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar untuk keamanan kawasan di tengah serangan ke Gaza dan penggusuran keluarga Palestina.

Pemicu krisis saat ini dimulai dari penggusuran keluarga Palestina dari Sheikh Jarrah, daerah yang mayoritas penduduknya Palestina di Yerusalem Timur, dua kilometer di utara kota tua, di jalan menuju Gunung al-Masharif.

Krisis ini meningkat menjadi gelombang protes dan kemudian polisi Israel menggerebek dan memukuli orang-orang yang berkumpul untuk beribadah di dalam Masjid al-Aqsa pada malam Lailatul Qadar pada 10 Mei lalu.

Pada akhir perang enam hari 1967, ketika Israel menguasai Yerusalem Timur, mereka setuju untuk mempertahankan status quo di Kompleks al-Aqsa, yang termasuk Qubbat as-Sakhra (Kubah Batu) dan kubah perak Masjid al-Aqsa.

Pengurusnya diizinkan untuk tetap berada di Yordania. Orang Yahudi diizinkan untuk memiliki akses ke Tembok al-Buraq di sisi barat al-Aqsa untuk menjaga ketenangan. Tetapi, selama bertahun-tahun, Israel, di bawah sebuah rencana, tidak hanya mengusir Muslim dari kota, tetapi membuat akses mereka ke al-Aqsa semakin sulit.

Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa populasi pemukim Israel di Yerusalem tumbuh pada tingkat yang lebih cepat daripada populasi Israel.

Menurut Biro Pusat Statistik Israel, total populasi Yerusalem tercatat 882.700 pada 2016, terdiri atas 536.600 orang Yahudi, 319.800 Muslim, 15.800 Kristen, dan 10.300 tidak diklasifikasikan.

Hingga awal abad ke-20, Muslim memiliki mayoritas di kota tersebut. Sesuai daftar perpajakan Ottoman, yang dicatat oleh penulis Amnon Cohen dan Bernard Lewis dalam bukunya Population and Revenue in the Towns of Palestine in the Sixteenth Century, populasi Yahudi pada 1553 adalah 1.958, Muslim 12.154, dan Kristen 1.956 dengan total populasi 16.068 orang.

Pada 1832, penulis Michal Oren-Nordheim dan Ruth Kark dalam buku mereka Jerusalem and Its Environs: Quarters, Neighbourhood, Villages, mencatat bahwa kota itu memiliki 4.000 orang Yahudi, 13 ribu Muslim, dan 3.560 Kristen.

Menurut penelitian dan statistik Arab Jordania, jumlah orang Yahudi mencapai 10 ribu pada 1918, sedangkan Muslim sekitar 30 ribu orang.

Sensus yang dilakukan oleh Inggris lima tahun setelah Deklarasi Balfour tahun 1917 mengungkapkan cerita yang berbeda.

Jumlah orang Yahudi telah meningkat menjadi 33.971 pada 1922, sementara Muslim tetap pada angka 13.413. Jumlah umat Kristen adalah 14.669. Jumlah penduduk kota keseluruhan tercatat 62.578 jiwa.

Pada 1944, peneliti Manashe Harrel dan Ori Stendel mencatat populasi Yahudi sekitar 97 ribu, Muslim 30.600, dan Kristen 29.400. Segera setelah perang 1967, para penulis ini menyebutkan jumlah populasi Yahudi 195.700, Muslim 54.963, dan Kristen 12.646. Jumlah penduduk kota pada saat perang enam hari mencapai 263.307.

photo
Polisi Israel menerobos jamaah Muslim dengan granat setrum dan peluru plastik di area Haram al-Sharif Masjid al-Aqsa pada Jumat, 7 Mei 2021, di Yerusalem Timur. - (Anadolu Agency)

 

Hukum Israel yang diskriminatif

Selama bertahun-tahun, Israel telah memberlakukan undang-undang diskriminatif dengan rencana bersama untuk mengusir Muslim dari Yerusalem.

Menurut undang-undang, jika seorang wanita Muslim menikah di luar kota, dia akan kehilangan hak untuk tinggal dan memiliki harta benda di kota itu. Undang-undang ini bertentangan dengan semua asas kesetaraan dan keadilan gender.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement