REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Juru bicara Komite Internasional Palang Merah (ICRC) di Gaza Suhair Zakkout mengatakan dampak serangan udara Israel ke Gaza selama 11 hari sangat mengerikan bagi masyarakat Palestina. Hal itu terutama ketika daerah itu masih didera pandemi Covid-19.
"Gaza daerah 365 kilometer persegi yang dihuni 2 juta orang salah satu daerah paling terpadat di dunia dan 80 persen populasinya tergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan. 97 persen air di Gaza tidak cocok dikonsumsi manusia," kata Zakkout dalam pertemuan virtual dengan media-media di Asia, Rabu (26/5).
Zakkout mengatakan pembatasan pergerakan ruang gerak dan perpecahan masyarakat Palestina sendiri memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza dalam 15 tahun terakhir. Zakkout menjelaskan Gaza telah melalui empat eskalasi kekerasan besar yakni tahun 2008, 2012, 2014 dan 2021 serta demonstrasi besar tahun 2018.
"Semua itu berkontribusi pada situasi humanitarian di Gaza, menurut Kementerian Kesehatan Gaza selama eskalasi 11 hari menghilangkan 254 nyawa orang, sekitar 1.915 terluka dan kita jangan lupa Gaza juga sudah menghadapi pandemi virus corona selama satu setengah tahun," katanya.
Ia mengatakan sebelum serangan udara Israel yang berlangsung selama 11 hari Gaza sudah dihantam pandemi virus corona. Sistem kesehatan Gaza yang harusnya mengobati korban terluka kesulitan dengan pembatasan ruang gerak, kekurangan bahan bakar, obat-obatan dan pandemi yang sudah berlangsung selama 1,5 tahun.
Petugas kesehatan seperti dokter dan perawat kelelahan, dan serangan udara membuat petugas kesehatan yang sudah kewalahan semakin dibutuhkan. Karena perbatasan ditutup selama eskalasi terjadi, obat-obatan dan bahan bakar yang hanya digunakan untuk pembangkit tenaga listrik tidak sampai Jalur Gaza.
"Sejauh ini hal itu mengakibatkan masyarakat hanya mendapatkan jatah listrik tiga jam per hari, listrik yang hanya tiga jam sehari berdampak pada kesehatan, jumlah bahan bakar yang ada tidak cukup bagi rumah sakit, unit gawat darurat," kata Zakkout
Zakkout mengatakan serangan udara Israel juga mendorong ribuan orang Palestina terpaksa mengungsi karena rumah mereka sebagian atau seluruhnya rusak. ingatan mereka tentang konflik tahun 2014, juga mendorong mereka untuk segera meninggalkan rumah.
"Mereka takut menghadapi tragedi yang sama yang terjadi pada 2014. Maka dalam eskalasi 11 hari banyak orang yang tinggal di sekolah sebagai tempat penampungan sementara atau di rumah kerabat mereka," jelas Zakkout.