REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pengamat bintang di Lingkar Pasifik dapat mengarahkan pandangan mereka ke langit pada Rabu (26/5) malam. Mereka menyaksikan fenomena gerhana bulan total atau "super blood moon" yang langka.
Gerhana bulan total pertama dalam dua tahun terjadi pada waktu yang sama saat bulan paling dekat dengan bumi. Menurut para astronom, fenomena ini adalah pertunjukan sekali dalam satu dekade. Bulan akan tampak merah karena pembiasan cahaya matahari oleh laposan atmosfer Bumi. Super Blood Moon berikutnya diharapkan berlangsung pada tahun 2033.
Berbeda dengan gerhana matahari, fenomena tersebut akan terlihat aman dengan mata telanjang. Gerhana ini akan berbeda karena terjadi selama "bulan super", ketika bulan hanya berjarak 360.000 kilometer (225.000 mil) dari bumi.
Pada titik itu, ia bisa tampak 30 persen lebih terang dan 14 persen lebih besar daripada titik terjauh, perbedaannya sekitar 50.000 kilometer (30.000 mil).
"Minatnya tinggi," kata kurator astronomi Andrew Jacobs di Observatorium Sydney.
Jacobs memperkirakan pemandangan terbaik adalah di Australia, Selandia Baru, sebagian besar Pasifik, dan Papua Nugini."Orang Amerika melihatnya di pagi hari, tetapi mereka belum tentu melihat semua bagian gerhana," kata dia.
Menurut Bill Cooke dari NASA, orang-orang di Hawaii dan Kepulauan Aleut akan melihat keseluruhan gerhana ini. Gerhana bulan tidak selalu diantisipasi dengan hangat sepanjang sejarah. Dalam banyak budaya, gerhana bulan dan matahari dipandang sebagai pertanda malapetaka.
Suku Inca percaya bahwa gerhana bulan terjadi ketika seekor jaguar memakan bulan. Beberapa kelompok Aborigin Australia percaya itu menandakan seseorang dalam perjalanan telah terluka atau terbunuh.
Dalam King Lear William Shakespeare memperingatkan, "gerhana matahari dan bulan menandakan tidak baik bagi kita".