REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah Nabi Adam dan Siti Hawa sampai saat ini masih banyak dikaji di kalangan umat Islam. Namun, ada yang menarik dari kisah tersebut, yakni kaitannya dengan buah khuldi yang kajiannya kerap dibawa-bawa dalam studi filsafat, khususnya ranah epistemologi.
Dalam buku berjudul Menyegarkan Islam Kita karya Husein Ja’far Al Hadar dijelaskan, ada dua kecenderungan dalam memaknai dan menyifati buah khuldi. Pertama, menurut Husien Ja’far, mereka yang secara epistemologis mengasumsikannya sebagai 'buah pengetahuan'.
Karenanya, menurut dia, larangan memakan buah itu secara tidak langsung ‘menjebak’ manusia pada pilihan, yakni untuk memakan buah itu dan menjadi makhluk yang berpengetahuan atau mematuhi larangan memakannya dengan konsekueni tetap menikmati kenikmatan di taman surga meskipun tanpa pengetahuan.
Kedua, menurut Husen Ja’far, mereka yang secara epistemologis menyifati buah itu sebagai 'buah kebinatangan'. Maka konsekuensinya, kata dia, memakan buah itu dinilai sebagai bentuk egoisme dan keserakahan yang merupakan produk hawa nafsu lainnya yang tak lain merupakan salah satu dimensi paling primordial manusia, selain rasio.
Menurut Murtadha Muthahhari dalam karyanya yang berjudul Mengenal Epistemologi, asumsi buah khuldi adalah buah pengetahuan dipengaruhi oleh Kitab Suci Taurat dan memengaruhi begitu banyak sarjana dan intelektual Barat.
Sehingga, menurut Husein Ja’far, asumsi itu kemudian menginspirasi mereka untuk memisahkan antara sains dan agama. Pasalnya, buah khuldi mereka asumsikan sebagai simbol pengetahuan, khususnya yang berbasis saintis. Sedangkan surga yang dihuni Adam dan Hawa dahulu kala itu merupakan simbolisasi dari agama.
“Dalam perspektif Alquran, Muthahhari mengkritik keras asumsi tersebut sekaligus menegaskan dan mengukuhkan pandangan yang menyatakan buah khuldi sebenarnya adalah buah kebinatangan,” kata Husein Ja’far.