REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sujanarko menilai Kepala Badan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana sangatlah tidak profesional. Koko, panggilan akrab Sujanarko menyampaikan protes keras kepada Bima Haria terkait pelaksanaan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di KPK.
Dia bahkan menyebut dengan akurasi yang sangat rendah, panitia dalam TWK sangat berani menyatakan warga negara yang mengabdi bertahun-tahun di KPK tidak bisa dibina wawasan kebangsaannya. Menurutnya, pelabelan seperti itu mirip dengan litsus Orde Baru.
"Saya secara pribadi menyampaikan protes keras ke ketua BKN, Bima Haria. Yang pertama, dia sangat tidak profesional dan kejam. Kenapa saya bilang seperti itu, saya tahu, karena saya ini asesor nasional. Jadi saya tahu persis proses-proses seperti itu," tegas Koko dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (27/5).
Koko mengungkapkan, tes yang digunakan dalam asesmen TWK adalah
kategori tes psikometri yang biasanya dinilai berdasarkan enam metode seperti tes tertulis, wawancara, persentasi, FGD, dan beberapa tes lainnya. Tingkat validitas asesmen dengan enam metodr itu pun, menurut Koko hanya mencapai 65 persen.
Sementara, tes yang dilakukan dalam asesmen TWK hanyalah menggunakan tiga metode, yakni tes tertulis, wawancara, dan esai. "Asesmen TWK cuman tiga metode, sehingga validitas pun seharusnya semakin kecil. Dengan alat ukur yang sangat buruk ini bisa dibayangkan dia melabeli 51 orang dengan orang yang rusak dan tidak bisa dididik dari wawasan kebangsaan," ujar Koko.
"Apa bedanya saya dengan teroris dan pasukan separatis. Apa argumentasinya Bima Haria. Saya sedang berpikir akan lakukan somasi. Paling tidak dia bisa menjawab dan punya bukti fakta, saya tidak bisa dididik dan dilabeli merah. Saya ikut organisasi terlarang, saya taliban. Silakan buktikan. Tidak hanya dengan tiga jenis tes yang tidak jelas ini. Bima Haria harus tanggung jawab ini," tambahnya.
Hasil koordinasi KPK, BKN, Kemenpan RB, Kemenkumham, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyatakan 51 dari 75 pegawai itu dinyatakan tidak bisa menjadi ASN. Semenetara, 24 sisanya dapat dibina lebih lanjut sebelum diangkat menjadi ASN.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut, penilaian asesor terhadap 51 pegawai tersebut merah dan tidak mungkin dibina. “Yang 51 orang, ini kembali lagi dari asesor, ini sudah warnanya dia bilang, sudah merah dan ya, tidak memungkinkan untuk dilakukan pembinaan,” kata Alexander dalam konferensi pers, Selasa (25/5).
Meski demikian, Alexander tidak menjelaskan lebih detail mengenai tolak ukur penilaian dan alasan kenapa pegawai KPK itu tidak dapat dibina. Sementara, Kepala BKN Bima Haria Wibisana memaparkan tiga aspek terkait penilaian asesmen TWK.
Ketiga aspek itu yakni aspek pribadi, pengaruh, dan PUPN (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah). “Untuk yang aspek PUPN itu harga mati. Jadi tidak bisa dilakukan penyesuaian, dari aspek tersebut,” tegas Bima.
Kepusan KPK hingga BKN itu bertentangan dengan arahan presiden Joko Widodo sebelumnya. Presiden Jokowi menegaskan agar TWK tidak boleh serta-merta dijadikan dasar memberhentikan pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK. Pengalihan status pegawai KPK harus sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan tidak boleh merugikan pegawai itu sendiri.