Kamis 27 May 2021 20:04 WIB

INDEF Catat Rokok Ilegal Rugikan Negara Rp 4,38 Triliun

Kenaikan cukai tahun ini terlalu eksesif bagi industri pertembakauan.

Rep: Novita Intan/ Red: Dwi Murdaningsih
Barang bukti hasil sitaan berupa rokok ilegal dimusnahkan di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (3/3/2021). Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Bea Dan Cukai Tipe Madya Pabean Juanda memusnahkan 1.2 juta batang rokok ilegal yang tidak dilengkapi cukai serta barag pornografi berupa 84 buah sex toys.
Foto: Umarul Faruq/ANTARA
Barang bukti hasil sitaan berupa rokok ilegal dimusnahkan di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (3/3/2021). Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Bea Dan Cukai Tipe Madya Pabean Juanda memusnahkan 1.2 juta batang rokok ilegal yang tidak dilengkapi cukai serta barag pornografi berupa 84 buah sex toys.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat kerugian rokok ilegal sebesar Rp 4,38 triliun sepanjang 2020. Jika diestimasikan lewat data penindakan Direktorat Penindakan dan Penyidikan (DJBC), sebesar lima persen.

Ekonom Senior Indef Enny Sri Hartati mengatakan kebijakan cukai berdampak lebih negatif dan tak sesuai tujuannya. Maka itu diharapkan pemerintah harus memberikan instrumen cukai yang lebih sesuai agar tak merugikan negara.

Baca Juga

"Itupun yang ditindak, faktanya banyak rokok ilegal yang tidak ditindak, bahwa kita ingin mengintervensi harus instrumen tepat ini saya rasa tidak tepat," ujarnya saat Webinar Akurat Solusi bertema Intervensi Rezim Kesehatan dan Ancaman Sektor Pertembakauan, Kamis (27/5).

Menurutnya kenaikan cukai juga merugikan negara. Hal ini disebabkan produksi menurun namun konsumsi tetap meningkat dengan rokok ilegal kini menjadi pilihan di tengah harga rokok yang naik.

“Ketika harga rokok legal naik dan daya beli masyarakat menurun, sehingga permintaan rokok ilegal malah meningkat. Artinya, menurunkan prevalensi tak tercapai, padahal persoalannya bukan terhadap rokok legal,” ucapnya.

Enny menyebut kenaikan cukai tahun ini terlalu eksesif bagi industri pertembakauan. Akibatnya, justru kenaikan cukai tak berdampak positif sesuai tujuannya.

Saat ini, kata Enny, kenaikan cukai malah menyakiti industri karena gagal menurunkan prevalensi perokok. Bappenas mencatat pada 2019, diharapkan prevalensi merokok anak usia 10 sampai 18 tahun sebesar 5,4 persen, namun mengalami peningkatan menjadi 9,1 persen.

"Dengan penerapan cukai yang eksesif malah produksi turun, namun prevalensi tetap tak berkurang," ucapnya.

Sementara Anggota Badan Legislasi DPR Firman Subagyo meminta agar pemerintah dalam membuat peraturan perundang-undangan terkait industri hasil tembakau (IHT) harus mengedepankan keadilan.

"Industri hasil tembakau ini faktanya hanyalah menjadi sapi perah oleh pemerintah dan negara, kenapa jadi sapi perah?" ucapnya.

Firman mengungkapkan industri hasil tembakau selalu diklaim sebagai penyebab kematian terbesar menurut hasil riset yang dilakukan oleh kelompok anti tembakau. Namun pemerintah juga menggunakan penerimaan cukai untuk kepentingan kesehatan.

"Bahkan di dalam kebijakan peraturan menteri (Permen) nomor 7 kami melihat sama sekali tidak ada keberpihakan kepada petaninya. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka tentang Industri Hasil Tembakau (IHT) ini harus diberikan satu payung hukum perlindungan," ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement