REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) berharap semua pihak kembali fokus pada persoalan pemberantasan buku bajakan. Pemerintah diminta turun tangan dalam upaya pemberantasan pembajakan yang melibatkan banyak sektor tersebut, khususnya berkaitan regulasi.
“Pemerintah tidak boleh tinggal diam dan membiarkan persoalan ini sebagai urusan pelaku perbukuan belaka,” ujar Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia, Arys Hilman Nugraha dalam siaran persnya di Jakarta, Kamis (27/5).
Arys mengatakan, isu pembajakan buku mengemuka setelah penulis Tere Liye melontarkan kemarahan atas pembajakan buku melalui media sosial. Namun, perdebatan saat ini justru lebih ke cara penyampaian kemarahan tersebut, sehingga bukan masalah pembajakan buku itu.
Ia mengatakan, dunia perbukuan di Indonesia, saat ini mengalami persoalan yang semakin buruk dalam hal pelanggaran hak cipta. Menurutnya, pertumbuhan pasar daring yang seharusnya menjadi berkah bagi industri penerbitan, justru menjadi ladang subur pembajakan yang bahkan mencapai skala industri.
Ikapi, kata Arys, telah mengajukan sejumlah usulan langkah kepada pemerintah dalam kerangka pemulihan ekonomi nasional (PEN). Termasuk di dalamnya, permintaan pembasmian pembajakan buku cetak dan digital, termasuk penjualan buku bajakan di lokapasar daring. Ikapi juga berharap pemerintah memberikan dukungan penyelenggaraan pameran internasional dan pengembangan literary agent nasional yang membuka akses terhadap penjualan intellectual property (IP) karya penulis Indonesia ke luar negeri.
Selain itu, Ikapi berharap pemerintah mendukung pengembangan infrastruktur lokapasar (marketplace) daring milik para penerbit, melalui asosiasi, demi pengembangan pasar maupun perlawanan terhadap tindakan pembajakan.
Ikapi mengusulkan pula agar pemerintah merealisasikan pembentukan satgas antipembajakan dan menunjukkan keberpihakan yang tegas terhadap pemilik hak cipta (IP) dalam melawan para pembajak baik di lokapasar daring maupun di pasar buku konvensional.
"Di luar itu, Ikapi meminta percepatan penyusunan peraturan pemerintah sebagai turunan UU Ekraf tentang hak kekayaan intelektual sebagai penguatan upaya pemberantasan pembajakan buku," katanya.
Ia menambahkan, pelanggaran hak cipta produk kreatif buku secara garis besar terbagi dua. Pertama, yakni dalam bentuk pembajakan oleh pelaku-pelaku reproduksi ilegal yang menjualnya ke pasar-pasar konvensional maupun lokapasar (marketplace) daring (online).
Kedua, berupa penggandaan ilegal secara sebagian maupun dalam bentuk buku utuh hasil fotokopi yang terutama beredar di kampus-kampus perguruan tinggi. “Kedua jenis pelanggaran hak cipta tersebut sama-sama membunuh energi kreatif para pelaku
perbukuan,” kata Arys.
Karena itu, dunia penulisan menjadi tidak menarik sebagai bidang pekerjaan karena penulis maupun pelaku perbukuan lainnya kehilangan potensi pendapatan dari karya mereka. Pada 2019, Ikapi menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit. Nilai potensi kerugian hanya dari 11 penerbit saja akibat pelanggaran hak cipta mencapai angka Rp116,050 miliar.
Angka kerugian kata Arys, lebih besar mengingat jumlah anggota Ikapi pada 2019 berkisar 1.600 penerbit dan telah bertambah menjadi 1.900 pada April 2021. Ini belum termasuk penerbit anggota organisasi lain, misalnya Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI).
Perkembangan teknologi sesungguhnya membuka peluang bagi industri perbukuan untuk menemukan cara baru berjualan. Penerbit bisa langsung menjual produk mereka melalui toko-toko daring (webstore) milik sendiri maupun lewat akun-akun mereka di lokapasar seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Blibli, JD.ID, dan sejenisnya. Namun, ketika memasuki lokapasar, para penerbit juga harus berhadapan dengan maraknya penjualan buku bajakan.
“Ikapi telah bersepakat dengan asosiasi yang menaungi lokapasar, yaitu IdEA, untuk mencari penyelesaian masalah pembajakan ini,” kata Arys.