REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menilai penerapan single identity number (SIN) pajak mendorong optimalisasi penerimaan negara. Sebab penggunaan SIN Pajak terdapat konsep link and match SIN Pajak.
Direktur Jenderal Pajak Periode 2001-2006 Hadi Poernomo mengatakan DJP akan dapat memetakan sektor mana yang belum tersentuh pajak atau celah dalam perpajakan.
"SIN Pajak mampu menyediakan data wajib pajak yang belum membayar kewajiban perpajakannya," ujarnya saat acara Optimalisasi Penerimaan Pajak Melalui Penerapan SIN Pajak Demi Kemandirian Fiskal Indonesia secara virtual, Jumat (28/5).
Menurutnya uang atau harta baik dari sumber legal maupun ilegal selalu digunakan dalam tiga sektor, yaitu konsumsi, investasi, dan tabungan. Adapun sektor-sektor tersebut wajib memberikan data dan interkoneksi dengan sistem perpajakan.
“Artinya uang dari sumber legal maupun ilegal tersebut dapat terekam secara utuh dalam SIN Pajak,” ucapnya.
Hadi menyebut nantinya wajib pajak yang menghitung pajak dan mengirimkan SPT ke DJP dan SIN Pajak akan memetakan data yang benar dan data yang tidak benar, serta data yang tidak dilaporkan dalam SPT. Artinya tidak ada harta yang dapat disembunyikan oleh WP.
“Wajib pajak akan patuh dan jujur melaksanakan kewajiban perpajakannya, karena tidak adanya celah penghindaran kewajiban perpajakan. Maka optimalisasi penerimaan perpajakan tersebut tentu penerimaan perpajakan akan mencapai target, bahkan akan sangat dimungkinkan akan melebihi target pajak yang telah ditetapkan," ungkapnya.
Konsep SIN Pajak sebenarnya dimulai pada 31 Desember 1965. Saat itu Presiden Soekarno mengeluarkan Perppu 2/1965 mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak. Namun pada 1983 melalui UU 6/1983 terjadi reformasi perpajakan dengan pemberlakuan Self Assessment System yang memberikan kewenangan wajib pajak (WP) untuk menghitung sendiri mengenai penghasilannya dalam SPT.
Konsep transparansi pada Perppu 2/1965 dibangun kembali mulai 2001 melalui Grand Strategy DJP, disusul dengan Keputusan Bersama Pemerintah dan DPR pada 16 Juli 2001. Konsep tersebut dituangkan dalam UU 19/2001 pada 14 November 2001.
Berdasarkan hal tersebut, sejak 2001 DJP melakukan penandatanganan MoU dengan pihak terkait baik dari Pemerintah Pusat/Daerah, Lembaga, Swasta dan Pihak-pihak lain untuk membuka data baik yg non rahasia baik data finansial maupun non finansial, dan menyambungkan data tersebut secara sistem ke DJP.
Pada 17 Juli 2007 DPR mengesahkan UU 28/2007 di dalamnya Pasal 35A diatur mengenai SIN Pajak bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP.
Era tersebut memberi kewajiban semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain wajib untuk saling membuka dan menyambung sistem ke pajak yang non rahasia baik yang finansial/non finansial ke DJP, meskipun masih adanya beberapa hambatan terkait masih diperbolehkannya rahasia pada UU lain, seperti UU mengenai perbankan.
Presiden Joko Widodo kemudian mengeluarkan Perppu 1/2017 mengatur secara khusus akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam rangka memenuhi komitmen AEOI. Adapun perpu tersebut kemudian pada 8 Mei 2017 disahkan lembaga legislatif melalui UU 9/2017.
UU ini secara legal formal menggugurkan ketentuan kerahasiaan dalam beberapa UU, antara lain UU tentang perbankan, sehingga semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain, wajib untuk membuka dan terhubung ke dalam sistem perpajakan, baik data yang bersifat rahasia maupun non rahasia dan data finansial maupun non finansial.