Urgensi Digitalisasi Pesantren
Red: Fernan Rahadi
Ilustrasi Pondok Pesantren | Foto: ANTARA/NOVRIAN ARBI
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Wahyudi Indrawan (Peneliti pada Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS))
Pondok pesantren merupakan institusi yang tidak asing di Indonesia. Sejak masa awal masuknya dakwah Islam ke bumi Nusantara, pesantren lahir dari padepokan-padepokan tempat para santri atau murid menetap di lingkungan di tempat sang kyai atai gurunya tinggal sehingga memungkinkan pembelajaran agama, adab, akhlak, dan ilmu lainnya dapat dilakukan secara intensif.
Dari para santri inilah kemudian estafet kepemimpinan dakwah dan juga sanad keilmuan terus bersambung serta meluas karena umumnya para santri ketika dewasa akan menjadi kyai di tempat "nyantri" dahulu maupun mendirikan pesantren sendiri, khususnya di kampung halamannya.
Saat ini, pesantren telah berkembang menjadi institusi pendidikan dengan pengaruh yang tidak kecil. Direktorat Pendidikan Pondok Pesantren, Kementerian Agama RI mencatat bahwa saat ini terdapat sekitar 27.722 pondok pesantren di seluruh Indonesia dengan jumlah santri mencapai hampir 4,2 juta jiwa. Selain statistik di atas, kekuatan kelembagaan pesantren juga tergambar dari para alumni pondok pesantren yang telah berkiprah pada berbagai sektor di Indonesia, baik dakwah, ekonomi, hingga politik.
Namun demikian, potensi pondok pesantren khususnya di bidang ekonomi belum sepenuhnya dioptimalkan. Pondok pesantren masih lekat sebagai institusi pendidikan tradisional yang berfokus pada pelajaran agama semata dan menjadikan para santri menjadi orang-orang yang "zuhud" dalam arti kurang tepat, yakni menjauhi dunia agar dapat berfokus pada akhirat. Padahal, di satu sisi pandangan tersebut tidaklah tepat karena Alquran, Sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hingga penjelasan para ulama mengindikasikan bahwa mencari penghidupan di dunia ini ialah dibolehkan selama berada pada jalur yang halal, bahkan dapat menjadi kewajiban jika dalam rangka untuk mendukung tegaknya dakwah Islam.
Dalam konteks pesantren, potensi ekonomi dari pondok pesantren secara inheren sebetulnya tidak dapat dipandang remeh. Kondisi kultural pesantren, yang lekat dengan kekompakan para santri serta kepatuhan santri pada kyainya menunjukkan modal sosial yang kuat dan dapat menjadi dasar dari suatu gerakan ekonomi. Selain itu, perkembangan ekonomi syariah di masa kini sebetulnya membutuhkan komunitas berbasis religiusitas yang kuat seperti pondok pesantren agar konsep ekonomi syariah, seperti syirkah, zakat, wakaf, sistem bagi hasil, dan lainnya dapat berjalan secara riil di lapangan.
Pada masa kini, kesadaran akan potensi ekonomi pesantren telah mendorong sejumlah pondok pesantren, baik yang tergolong "pondok modern" maupun "pondok salafiyah" untuk membuat kurikulum dan praktikum berbasis kewirausahaan santri. Selain itu, unit usaha pesantren baik yang bergerak di sektor riil, seperti toko sembako, toko alat tulis, dan lainnya yang mendukung kegiatan para santri hingga Koperasi Syariah atau Baitul Maal wat Tamwil juga telah banyak berdiri.
Selain gerakan ekonomi yang berbasis inisiatif pesantren sendiri, pemerintah dan otoritas lainnya juga berperan aktif melakukan berbagai program untuk mengoptimalkan potensi pondok pesantren. Program tersebut di antaranya adalah "One Pesantren One Product" maupun semisalnya yang digagas sejumlah pemerintah daerah seperti Jawa Barat dan Jawa Timur, pendirian Bank Wakaf Mikro (BWM) yang digagas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga pembinaan UMKM berbasis pesantren oleh Bank Indonesia (BI) dengan pendekatan teknologi digital (smart farming, e-commerce, dan lainnya).
Dalam pandangan penulis, berbagai inisiatif dan program di atas sangatlah baik. Hal ini mengingat bahwa dengan populasi terkait pesantren yang besar (santri, kyai/guru, alumni, dan masyarakat sekitar) maka ada potensi ekonomi dari berbagai aktivitas yang terjadi di pesantren tersebut yang harus diberdayakan. Hal ini penting agar terwujud kemandirian ekonomi dari pondok pesantren yang pada gilirannya akan mendorong kemandirian ekonomi umat Islam.
Namun demikian, perlu ada beberapa hal yang perlu diperkuat. Pertama, dunia saat ini bergerak menuju era digitalisasi, termasuk di bidang ekonomi. Berbagai inovasi seperti e-commerce, e-money, dan lainnya mengindakasikan bahwa pondok pesantren sebagai salah satu "pemain" di dalam perekonomian harus beradaptasi. Terlebih pada masa pandemi Covid-19 saat ini, pembatasan aktivitas masyarakat menjadikan kegiatan ekonomi dan keuangan berbasis digital semakin pesat. Oleh karena itu, digitalisasi dalam aktivitas ekonomi pesantren menjadi sangat urgen untuk dilakukan. Selain membentuk ekosistem e-commerce berbasis pesantren yang sudah dijalankan, adopsi sistem pembayaran digital non-tunai seperti QRIS (QR-code Indonesian standard) yang digagas BI juga harus digalakkan di pondok pesantren. Hal ini penting agar transaksi ekonomi dan keuangan digital di pesantren, baik jual beli, zakat, wakaf, hingga pembayaran gaji guru-guru di pesantren dapat berjalan lebih optimal.
Kedua, perlunya data dan pemetaan potensi dan realisasi transaksi ekonomi pesantren sebagai bahan pembuatan kebijakan yang lebih akurat. Sebuah kebijakan yang baik memerlukan data yang menggambarkan kondisi riil di lapangan. Namun, dalam konteks ekonomi pondok pesantren hal ini masih belum cukup optimal karena pemetaan yang dilakukan Kementerian Agama RI baru pada tataran sektor potensial dari pondok pesantren dan belum menyentuh data yang bersifat riil.
Maka, digitalisasi transaksi ekonomi dan keuangan pesantren akan memungkinkan hal ini terwujud. Namun, hal ini perlu diperkuat juga dengan digitalisasi pada sisi regulator, baik dengan teknologi SupTech (Supervisory Technology) maupun RegTech (Regulatory Technology), sehingga teknologi yang ada akan membantu terwujudnya praktik yang sesuai regulasi disertai Big Data yang dapat digunakan untuk regulator untuk perumusan kebijakan.
Sebagai gambaran, jika digitalisasi pada sistem pemabayaran zakat dan wakaf melalui pesantren dapat terwujud, maka data dari transaksi tersebut selain dapat digunakan oleh BI selaku regulator sistem pembayaran, juga dapat menjadi bahan kajian dan data analitik yang juga menunjang bagi Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) maupun Badan Wakaf Indonesia (BWI) terkait perilaku masyarakat di dalam berzakat dan berwakaf.
Ketiga, dua usulan di atas harus ditunjang dengan dasar fundamental ekonomi pesantren yang kuat. Maka, koneksi ekonomi antar pesantren, yakni pengadaan kebutuhan pesantren (peralatan untuk pendidikan dan kebutuhan pokok warga pesantren) hendaknya dipenuhi melalui produk yang dihasilkan oleh sesama pesantren sehingga kemandirian ekonomi pesantren dapat terwujud secara kolektif. Selain itu, penguatan sumber daya manusia santri agar mampu beradaptasi dengan era digitalisasi dan mengoptimalkannya sesuai dengan ajaran agama juga penting agar momentum digitalisasi pesantren dapat membawa kemaslahatan bagi semua. Agar pesantren tidak menjadi tertinggal di tengah arus digitalisasi, namun juga tidak kehilangan identitasnya sebagai pusat dakwah Islam berbasis kultural di tengah masyarakat.