Jumat 28 May 2021 19:13 WIB

Data Penduduk Jadi Tantangan Kerek Penerimaan Negara

Saat ini satu orang penduduk di Indonesia memiliki hingga 40 nomor identitas.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi data pribadi
Foto: Pikist
Ilustrasi data pribadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyatakan telah memiliki aturan terkait akses data penduduk. Hal ini menyusul banyaknya jenis data di Indonesia yang menjadi tantangan pemerintah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan akses data penduduk merupakan salah satu potensi untuk menggali potensi penerimaan negara. Saat ini satu orang penduduk di Indonesia memiliki hingga 40 nomor identitas.

Baca Juga

“Saat ini penduduk Indonesia itu memiliki 40 nomor identitas, nomor identitas itu memiliki sistem sendiri-sendiri yang tersebar berbagai lembaga atau instansi,” ujarnya saat acara Optimalisasi Penerimaan Pajak Melalui Penerapan SIN Pajak Demi Kemandirian Fiskal Indonesia secara virtual, Jumat (28/5).

Menurutnya saat ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berupaya menyelesaikan berbagai tantangan tersebut melalui program reformasi perpajakan. Adapun cakupan informasi yang dikumpulkan DJP telah komprehensif sejak penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 31/2012. 

Melalui beleid itu, pemerintah memberikan kewenangan kepada DJP untuk mendapatkan data dan informasi dari instansi, lembaga, asosiasi, pihak lainnya (ILAP) demi kepentingan penggalian potensi pajak. Sejak 2012 DJP sudah mendapatkan data dan informasi dari 69 ILAP yang terdiri atas 337 jenis data. 

“Data tersebut meliputi data transaksi, data identitas, data perizinan, dan data-data lain yang sifatnya nontransaksional,” ucapnya.

Sri Mulyani melanjutkan pada 2017 menjadi periode penting pengolahan data perpajakan karena telah tercapai komitmen pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information/AEoI) melalui upaya forum G20. Pada 2019, DJP juga mulai menerima dan mengolah data warga negara Indonesia di luar negeri untuk kepentingan penggalian potensi pajak.

“Data-data itu diolah untuk mendapatkan analisis mengenai business intelligence, melakukan seleksi kasus, mengembangkan risk engine kepatuhan perpajakan, serta membangun compliant risk management (CRM). Saat ini CRM menjadi ujung tombak Ditjen Pajak dalam menjalankan fungsi ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan," ungkapnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement