Tuduhan Kejahatan Perang Hamas, Asimetri, dan Penindasan
Red: Fernan Rahadi
Pejuang brigade Izz ad-Din al-Qassam, sayap militer Hamas, berparade untuk mengenang para pejuang al-Qassam yang tewas dalam konflik baru-baru ini di Kota Gaza, 27 Mei 2021 (dikeluarkan 28 Mei 2021). Setelah sebelas hari bertempur, gencatan senjata mulai berlaku pada 21 Mei antara Israel dan militan di Jalur Gaza di bawah inisiatif Mesir untuk gencatan senjata tanpa syarat. | Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kirana Anjani (Asisten Peneliti Lokataru Foundation) & Fajri Matahati Muhammadin (Dosen Fakultas Hukum UGM)
Sejak tanggal 21 Mei 2021, akhirnya terjadi gencatan senjata antara Zionis Israel dan Hamas. Pemboman yang membunuh ratusan penduduk Gaza, sebagiannya perempuan dan anak-anak, berhenti sementara. Pasukan Zionis Israel mengklaim bahwa bombardir olehnya adalah balasan dari serangan roket Hamas (oleh sayap militernya, yaitu Brigade Al-Qassam). Padahal, siapapun yang terbuka mata dan hatinya terhadap informasi tentunya paham bahwa Zionis Israel yang paling pertama secara konstan menindas dan menjajah penduduk Palestina di segala penjuru bumi Palestina sejak lebih setengah abad yang lalu.
Tidak sedikit yang mengecam aksi pasukan Zionis Israel karena perbuatan mereka jelas merupakan war crime (kejahatan perang), walaupun hampir kesemuanya pesimis akan ada tindakan tegas terhadapnya. Seperti biasanya, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun tunduk di hadapan hak veto Amerika Serikat. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang menyalahkan Hamas dan kemudian menjustifikasi aksi Zionis Israel dan sebahagian lain menyalahkan kedua belah pihak dengan dua argumen utama sebagai berikut.
Pertama, Hamas dituding menyasar rakyat sipil Zionis Israel dalam serangan roket. Kedua, Hamas dituding menjadikan penduduk sipil Gaza sebagai ‘perisai manusia’. Lantas, apakah tudingan-tudingan terhadap HAMAS ini beralasan? Sebab, bisa saja (bahkan sangat umum) dua pihak dalam perang sama-sama melakukan kejahatan perang.
Perlu terlebih dahulu memahami konsep ‘kejahatan perang’. Dalam terminologi hukum internasional, istilah tersebut bermakna pelanggaran berat terhadap Hukum Humaniter Internasional (HHI) yang mengatur apa yang diwajibkan dan dilarang dalam jalannya konflik bersenjata yang sedang berlangsung.
Salah satu prinsip dasar dalam HHI, yang paling relevan dan sederhana untuk dipahami dalam masalah ini adalah the principle of distinction (prinsip pembedaan). Prinsip pembedaan ini intinya memastikan bahwa orang-orang yang tidak berpartisipasi aktif dalam pertikaian (non-kombatan, termasuk warga sipil yang tidak turut bertempur) tidak menjadi sasaran serangan.
Membuktikan tudingan ‘perisai manusia’ akan memerlukan investigasi yang rinci. Dalam hukum internasional, tudingan tersebut harus ditunjang dengan bukti bahwa Hamas dengan sengaja memanfaatkan keberadaan non-kombatan sebagai tameng bagi mereka. Sekadar adanya warga sipil di sekitar milisi Hamas tidaklah menjadi bukti kesengajaan menjadikan mereka sebagai tameng. Apalagi, Gaza merupakan salah satu kota terpadat di dunia yang dengan demikian memastikan adanya keberadaan sipil hingga ke sudut kota. Lagipula, sejarah telah membuktikan bahwa keberadaan non-kombatan tidak pernah membuat Zionis Israel ragu membombardir suatu lokasi, sehingga praktis tak ada gunanya pula menjadikan warga sipil sebagai tameng di Gaza.
Di sisi lain, serangan-serangan roket Hamas sekilas tampaknya jelas melanggar prinsip pembedaan tersebut. Roket terbaru Hamas yang dinamai Ayyash diklaim mampu menyerang sejauh 250 kilometer, dan diluncurkan ke berbagai wilayah yang diduduki Zionis Israel termasuk banyak pemukiman sipil juga. Walau sebagiannya ditangkis oleh ‘Iron Dome’ milik Zionis Israel, tapi banyak roket yang tetap lolos dan membunuh 10 warga sipil Zionis Israel serta melukai hampir 600 lainnya.
Akan tetapi, hanya berkutat pada prinsip pembedaan secara sederhana tidak akan mengarahkan kita pada kesimpulan yang tepat dalam konflik Israel-Palestina. Kepatuhan terhadap prinsip HHI akan lebih mudah dipatuhi dalam suatu perang dengan dua pihak yang memiliki kekuatan dan sumber daya yang secara relatif dapat dibandingkan. Sebab, akses terhadap kedua hal tersebut secara praktik dapat mempengaruhi tingkat kemampuan suatu pihak untuk berperang dalam koridor yang ‘dibenarkan’. Sudah barang tentu, situasi ini tidak muncul dalam konflik Israel-Palestina yang merupakan perang asimetri.
Asymmetric warfare (perang asimetri) merupakan pertikaian bersenjata antara satu pihak yang memiliki sumberdaya (persenjataan, logistik, teknologi, jumlah pasukan, dan lain-lain) yang amat signifikan lebih banyak dibandingkan pihak yang lainnya. Memperhitungkan ketimpangan kekuatan dalam konflik Israel-Palestina nyatanya dapat mengubah diskusi terkait tuduhan kejahatan perang yang dilakukan Hamas di atas.
Dalam hal ini, pasukan Zionis Israel atau Israel Defense Force (IDF) memiliki lebih dari setengah juta personel tentara dan masyarakat sipil yang termasuk dalam pasukan cadangan. Mereka dilengkapi dengan persenjataan lengkap yang sangat canggih beserta pesawat tempur, kapal tempur, kendaraan lapis baja, dan didukung oleh perekonomian yang sangat makmur termasuk anggaran militer puluhan miliar dolar AS per tahunnya. Bandingkan dengan Hamas, Al-Qassam diperkirakan memiliki 20 ribu-50 ribu anggota, tidak memiliki angkatan udara maupun laut, bahkan kendaraan lapis baja pun tidak punya. Senjata minim, dan tinggal di kota Gaza yang terancam kelaparan dan banyak mengandalkan bantuan kemanusiaan, bahkan listrik dan air pun terbatas.
Pasukan bersenjata lengkap Zionis Israel dengan menyerang warga Palestina di Masjid al-Aqsa yang tidak bersenjata, dan membombardir Gaza dari jarak jauh menggunakan pesawat tempur dan senjata jarak jauh lainnya. Di sisi lain, Hamas tidak bisa sampai ke Yerusalem dan tidak juga memiliki persenjataan untuk melawan pesawat tempur Zionis Israel. Akan tetapi, HHI pada pondasinya berusaha menyeimbangkan antara kepentingan kemanusiaan dan kepentingan militer. Dalam perang asimetri yang sangat ekstrim sebagaimana di Palestina, penafsiran ‘kepentingan militer’ dan ‘keseimbangan’ harus juga ditafsirkan secara ekstrim. Dalam situasi seperti ini, apabila menuduh Hamas melanggar HHI harus memiliki bukti bahwa sejatinya mereka memiliki pilihan lain yang realistis.
Realitanya, roket-roket Hamas bukan hanya tidak akurat melainkan juga tidak terlalu destruktif, apalagi setelah berhadapan dengan Iron Dome milik Zionis Israel. Dapat dibandingkan, setiap kali Zionis Israel merengek-rengek akibat dihujani roket oleh Hamas (termasuk insiden-insiden sebelum tahun 2021), konkritnya seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan? Kerusakan yang ditimbulkan Hamas kepada sipil Zionis Israel sejak tiga puluh tahun lalu (yaitu tahun berdirinya Hamas) tidaklah sebanding dengan akumulasi kerusakan oleh Zionis Israel selama lima tahun saja. Senjata yang dimiliki Hamas terlampau primitif dibandingkan milik Zionis Israel. Dan ketika senjata ini dilarang karena dianggap melanggar prinsip pembedaan, apa yang tersisa bagi Hamas? Apakah tampak Hamas punya pilihan lain? Jelas tidak. Maka, dengan pemahaman ini, sulit untuk membuktikan bahwa Hamas melakukan kejahatan perang.
Tampaknya konflik Israel-Palestina mencerminkan tanda-tanda usangnya cara kita melihat konflik bersenjata. Sebab, kita justru kerap terjebak dalam membandingkan tindakan Zionis Israel dan Hamas dengan prinsip HHI yang terlalu sederhana namun luput mempertimbangkan makna yang lebih tepat dari kekerasan dan kejahatan pada suatu konflik. Menyalahkan kalangan yang ditindas oleh penjajah karena melawan penjajahnya adalah bukan hanya konyol, melainkan juga jahat. Hal ini juga berlaku pada bentuk penjajahan lainnya, tak hanya dalam konflik Israel-Palestina.
Harus dipahami bahwa klaim ‘membela diri’ Zionis Israel bergantung pada ilusi adanya kedamaian di Gaza akibat kekosongan kontak senjata. Padahal, tidak adanya kontak senjata antara keduanya tidak serta merta menjadikan situasi di Gaza menjadi damai. Teror dan penindasan yang berkepanjangan adalah bentuk kejahatan itu sendiri. Blokade akses terhadap sumber air, bantuan kemanusiaan, makanan, dan kondisi hidup yang baik adalah kekerasan itu sendiri. Dengan kata lain, Hamas juga tidak pernah menyulut kembali siklus kekerasan dengan ‘menyerang’ Zionis Israel. Mereka melawan kekerasan yang setiap hari ditemukan di Gaza, dan daerah lainnya di Palestina; situasi yang tak lain dianggap Zionis Israel sebagai ‘kondisi damai’.
Di atas itu semua, gencatan senjata yang terjadi patut disyukuri tapi harus dipandang realistis. Yang berhenti, itupun sementara, hanyalah bombardirnya saja. Dan layaknya sebuah siklus, kekerasan dan penindasan yang dialami oleh warga Palestina tak serta merta berakhir. Nyatanya memang, belum ada sehari setelah gencatan senjata, Zionis Israel sudah kembali menembaki jamaah Masjid Al-Aqsa yang sedang shalat dengan bom asap dan peluru karet. Sejarah pun selalu terulang. Layaknya pada Perang Surabaya, koran New York Times (terbitan 1945) menyematkan label “Muslim fanatics” pada pejuang kemerdekaan Indonesia.
Maka, nyaris mustahil mengharapkan kemerdekaan dan keadilan bagi rakyat Palestina jika kita kembali terjebak pada respons-respons ‘business as usual’ yang justru melanggengkan siklus kekerasan oleh Zionis Israel. Termasuk didalamnya, solidaritas kemanusiaan semu bagi Palestina dari negara-negara yang tak bernyali mengembargo apalagi menindak lebih tegas Zionis Israel, serta gagalnya komunitas internasional melawan upaya pengaburan perjuangan pembebasan Palestina dengan label ‘terorisme’.
Palestina berhak mendapatkan dukungan yang lebih baik, terutama dalam tatanan dunia yang nampak sangat tidak adil ini. Dukungan ini bukan hanya harus dari negara yang mayoritasnya seiman, bukan pula hanya dari negara yang mengaku berkemanusiaan. Melainkan juga dari negara yang pernah merasakan pahitnya penjajahan, apalagi yang kemerdekaannya dulu turut diperjuangkan oleh rakyat Palestina.