REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berkoordinasi dengan Polda Papua terkait dua peristiwa penyerangan terhadap aparat keamanan di Papua. Koordinasi dilakukan untuk memastikan kejadian itu termasuk ke dalam kategori peristiwa tindak pidana terorisme atau tidak.
"Koordinasi ini dilakukan karena dalam Pasal 35A Undang-Undang 5 Tahun 2018 dinyatakan, korban merupakan tanggung jawab negara. Korban meliputi korban langsung maupun korban tidak langsung. Korban ditetapkan oleh penyidik berdasarkan hasil olah tempat kejadian perkara," ujar Wakil Ketua LPSK, Achmadi, Jumat (21/5).
Dia menjelaskan peristiwa penyerangan yang pertama menyebabkan dua anggota TNI meninggal dunia oleh orang tak dikenal (OTK) di Kabupaten Yahukimo, Papua, pada 18 Mei 2021. Kemudian, peristiwa penyerangan berikutnya terjadi di Pegunungan Bintang yang mengakibatkan empat anggota TNI mengalami luka tembak.
Jika dalam proses hukum penyidik menyatakan peristiwa tersebut merupakan tindak pidana terorisme maka LPSK segera melakukan pemenuhan hak para korban, terutama pemberian santunan kepada keluarga korban meninggal dunia. Selain itu, korban juga berhak mengajukan kompensasi yang akan diputuskan melalui pengadilan.
"Berdasarkan UU 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme, korban memiliki hak mendapatkan bantuan medis, rehabilitasi psikologis, psikososial, dan santunan bagi yang meninggal serta kompensasi," jelas Achmadi.
Menurut Achmadi, dalam konteks perlindungan pada tindak pidana terorisme, fokus perlindungan yang diberikan bukan hanya korban, tetapi juga diberikan kepada para saksi-saksi yang mengetahui perihal terjadinya peristiwa. Untuk itu, Achmadi mengimbau masyarakat jangan takut menjadi saksi dalam proses penegakan hukum yang akan bergulir.
Selain itu, dirinya juga mengatakan LPSK segera menurunkan tim untuk melakukan koordinasi dan pendalaman dengan Polda Papua dan instansi terkait lainnya, guna menentukan langkah-langkah lebih lanjut sesuai ketentuan perundang-undangan.