'Pencucian Uang Bisa Hancurkan Integritas Sistem Keuangan'
Red: Fernan Rahadi
Pencucian Uang (Ilustrasi) | Foto: businesstm.com
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemahaman mengenai tindak pidana pencucian uang dipandang harus terus disosialisasikan. Hal itu disebabkan tindak pidana jenis ini sangat berbahaya jika dibiarkan tidak tertangani dengan baik.
Ketua Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dian Ediana Rae, mengambil contoh seperti yang sering diperlihatkan dalam film-film di mana uang hasil penjualan narkoba dicuci sampai sedemikian besar sehingga berpengaruh dalam berbagai sendi kehidupan, baik sosial, ekonomi, dan politik.
"Bahkan sampai sekarang Kolombia dan Meksiko tidak bisa lepas dari narkoba dan human trafficking. Karena uang hasil kejahatan narkoba tidak bisa dikendalikan, akhirnya negara itu tidak bisa dikendalikan," jelasnya saat mengisi webinar dengan tema "Perang Global Melawan Pencucian Uang", yang digelar Perkumpulan Bumi Alumni (PBA) bekerja sama dengan WorldwideQuality Assurance (WQA), Jumat (28/5).
Bahkan di negara-negara tersebut tidak ada politikus yang bebas dari narkoba. Hal itu disebabkan mereka bisa menjadi politisi berkat pembiayaan uang hasil narkoba. "Apakah Indonesia punya potensi seperti itu? Mari kita renungkan bersama," jelasnya.
Data dari BNN, jumlah pengguna narkoba di Indonesia sudah mencapai angka 5 juta. Yang terkait dengan misalnya hasil analisis PPATK bahwa transaksi narkoba mencapai triliunan. Kalau itu terus berkembang, pencucian uang berjalan massif bisa dipastikan akan berpengaruh kepada yang lain. Jika memasuki dunia politik, akan menjadi hal yang sulit untuk dicegah
"Dampak tindak pidana kejahatan pencucian uang memang sangat luar biasa. Belum lagi hasil korupsi juga sudah sangat besar, jangan jangan mencapai ratusan triliun, kejahatan illegal loging, illegal mining, illegal fishing dan macam-macam itu kemudian diakumulasikan tidak sedikit jumlahnya," tuturnya.
Menurutnya, dampak pencucian uang juga akan merusak integritas sistem keuangan Indonesia. Ia mengungkapkan, jika pencucian uang tidak terdeteksi, maka akan mengganggu hal lain, seperti investasi dan ekonomi secara keseluruhan. "Bayangkan, misalnya ada orang yang bisnis dengan susah payah, pinjam uang susah, nah di sisi lain ada orang orang yang dibiayai dari dana hasil pencucian uang," jelasnya.
Sekarang ini, menurut Dian, modus dan cara melakukan pencucian uang makin canggih. Penyamaran transaksi, rekayasa keuangan dan sebagainya dilakukan dengan cara-cara yang semakin rumit dan kompleks. "Ini adalah tipikal money laundering," jelasnya.
Direktur Eksekutif Hukum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Ary Zulfikar, mengatakan PP nomor 61 tahun 2021 yang merupakan perubahan dari PP 43 tahun 2015 tentang pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang tersebut erat kaitannya dengan pihak pelaporan harta kekayaan yang patut diduga berasal dari suatu tindak pidana.
"Dan prinsip yang digunakan dalam UU TPPU untuk mengenali apa yang dimaksud dengan transaksi keuangan yang mencurigakan," jelasnya yang dalam webinar itu bertindak sebagai keynote speaker.
Lebih lanjut Ary menjelaskan yang dimaksud dengan transaksi keuangan mencurigakan terletak pada Pasal 1 Angka 5 UU TPPU di mana salah satu definisinya adalah jika terjadi transaksi keuangan tidak sesuai profil atau karakteristik kebiasaan pola transaksi pengguna jasa. Filosofi dari UU TPPU adalah penerapan prinsip mengenali pengguna jasa. Setiap penyedia dan pengguna jasa harus memahami prinsip tersebut.
"Kami di LPS seringkali melakukan penyelidikan suatu tindak pidana. Tetapi seringkali penyelidikan dilakukan setelah kerugian itu terjadi. Jadi sering kita melakukan penyelidikan setelah bank tersebut telah mengalami kerugian," jelasnya.
Dengan adanya kegiatan pelaporan, pada dasarnya dapat mencegah tindak pidana itu sendiri, karena pelaku tindak pidana pada akhirnya tidak dapat menggunakan hasil kejahatan atau menyamarkan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidanannya tersebut.