REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Intelijen sekaligus Direktur Eksekutif Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS) Ngasiman Djoyonegoro mengatakan, pengangkatan Panglima TNI yang kemungkinan dilaksanakan dalam waktu dekat, perlu mempertimbangkan dua agenda strategis pertahanan negara. Namun, seorang Panglima TNI adalah sosok yang memiliki "chemistry" dan sepemikiran dengan presiden.
"Pertama, pengamanan wilayah laut dan kepulauan dari pencaplokan oleh negara-negara lain," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (29/50.
Menurut dia, potensi eskalasi konflik lintas negara di Laut CHina Selatan ke depan cukup tinggi, dan dukungan penjagaan laut merupakan garda terdepan dalam menjaga kedaulatan, termasuk pula upaya diplomasi tetap dijalankan. Apalagi, kejahatan trans-nasional, misalnya, penyelundupan senjata juga terjadi di laut sehingga dibutuhkan agenda strategis tersebut.
Kedua, kata dia, visi Indonesia sebagai poros maritim dunia perlu dilanjutkan. Hal ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat dan makmur.
Tentunya tujuan tersebut diupayakan melalui pengembalian identitas negara sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim serta memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia.
"Pertahanan maritim merupakan aspek pokok dalam mewujudkan visi poros maritim dunia," ujar pria yang akrab dipanggil Simon itu.
Terkait pengangkatan Panglima TNI tersebut, dia mengakui, hal itu merupakan hak prerogatif presiden dimana tidak ada intervensi dari pihak manapun. Namun, diyakini presiden akan melanjutkan tradisi rotasi lintas matra pada pergantian panglima TNI tahun ini.
Sejak reformasi 1998, Panglima TNI dijabat dari tiga matra yakni laut, darat dan udara secara bergantian yakni Widodo Adi Sutjipto (TNI AL) pada 1999-2002, Endriartono Sutarto (TNI AD) pada 2002-2006, Djoko Suyanto (TNI AU) pada 2006-2007, Djoko Santoso (TNI AD) pada 2007-2010. Selanjutnya, Agus Suhartono (TNI AL) pada 2010-2013, Moeldoko (TNI AD) pada 2013-2015, Gatot Nurmantyo (TNI AD) pada 2015-2017 dan Hadi Tjahjanto (TNI AU) 2017-sekarang.
"Analisa pribadi saya kalau melihat rute-nya, peluang ada di TNI AL kalau tradisi bergiliran, meskipun masih ada peluang untuk TNI AD. Kalau TNI AU kecil peluang karena sekarang Pak Marsekal Hadi Tjahjanto dari TNI AU," kata dia.
Di samping itu, dia menyampaikan, bahwa secara internal TNI juga memiliki banyak pekerjaan rumah terutama pada penguatan minimum essential force (MEF) dan teknologi alusista. Namun yang lebih penting, menurut Simon, seorang Panglima TNI adalah sosok yang memiliki "chemistry" dan sepemikiran dengan presiden.