REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Presiden Majelis Umum PBB (UNGA) mengatakan India dan Pakistan harus 'menahan' diri dari mengambil langkah lebih lanjut mengenai Kashmir yang disengketakan. Pasalnya dua negara bertetangga itu kembali bersitegang atas wilayah Himalaya pekan ini.
Pernyataan Presiden UNGA Volkan Bozkir disampaikan dalam konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Pakistan Shah Mehmood Qureshi di ibu kota Islamabad. Konferensi pers digelar usai Bozkir menyelesaikan kunjungan selama tiga hari ke negara mayoritas Muslim itu.
"Namun kedua belah pihak, semua pihak, harus menahan diri dari mengambil langkah yang dapat berdampak pada status Jammu dan Kashmir," kata Bozkir yang mulai menjabat September tahun lalu, seperti dikutip dari Aljazirah, Jumat (28/5).
"Hal ini saya pikir penting sebagai bagian bagaimana kami memandang kasus ini," tambah mantan diplomat dan politisi Turki tersebut.
Sejak merdeka dari Inggris pada tahun 1947, India dan Pakistan sudah menggelar dua perang skala besar di daerah perbatasan tersebut. Kedua mengeklaim Kashmir seutuhnya tapi hanya mengelolanya sebagian.
Agustus 219 lalu India mencabut status khusus Kasmir yang tercantum dalam konstitusi mereka. Saat itu Perdana Menteri Narendra Modi mengatakan ia ingin meningkatkan pembangunan dan mengelola wilayah itu seperti wilayah lainnya.
Pakistan menentang langkah tersebut. Mereka menuduh India mencoba merebut wilayah itu tanpa membuat resolusi bilateral. Islamabad juga menuduh India mencoba mengubah demografi Kashmir yang mayoritas Muslim menjadi mayoritas Hindu.
Bozkir tidak menjelaskan apakah pernyataannya terkait langkah pemerintah India pada tahun 2019 atau 2020. "Saya harus tegaskan sekali lagi posisi PBB di Jammu dan Kashmir sesuai dengan piagam PBB dan resolusi Dewan Keamanan yang dapat diterapkan," katanya.
"Perjanjian Simla antara India dan Pakistan tahun 1972 menyebutkan status akhir Jammu dan Kashmir diselesaikan dengan cara yang damai sesuai dengan Piagam PBB," tambahnya.
Bozkir mendesak Pakistan untuk mengangkat isu Kashmir di PBB 'lebih keras lagi'. Menurutnya PBB dapat menggelar sidang khusus apabila cukup banyak negara yang menandatangani petisinya.