Oleh : Ilya F Maharika, Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
REPUBLIKA.CO.ID, Terokupasinya jalan-jalan - di akhir pekan - oleh pesepeda menimbulkan kontroversi. Kejadian tersebut bukan hanya di Jakarta, tetapi juga berkembang di kota lain. Banyak solusi yang ditawarkan didasari pada anggapan bahwa sepeda perlu diatur kehadirannya di kota.
Tulisan ini menawarkan cara pandang yang berseberangan dengan cara tersebut dalam rangka membangun paradigma baru: penyehatan bumi.
Banyak ahli sependapat bahwa pandemi virus Covid-19 adalah penyakit 'penyakit antroposen' (anthropocene disease). Antroposen adalah konsep tata kala geologi, masih informal, merujuk pada masa ketika manusia mampu menciptakan dampak global pada iklim dan ekosistem.
Antroposene dianggap mulai menggantikan masa holosen yang dimulai 11,650 tahun lalu ketika manusia mulai menjelajah dan menguasai bumi. Para ahli yang tergabung dalam Anthropocene Working Group berpendapat bahwa antroposen berbeda dengan holosen karena manusia telah menimbulkan dampak serius pada bumi secara global.
Ini ditandai denga dua dampak besar yaitu akselerasi pertambahan karbon dan metan di atmosfer dan radioaktif yang terdeteksi di tanah akibat lomba senjata nuklir sejak 1945. Sebagian ahli bahkan berpendapat bahwa antroposen ini sangat didominasi oleh kapitalisasi sumber daya sehingga tepat pula disebut sebagai "kapitalosen".
Kekuasaan manusia mengubah bumi telah menghasilkan dampak global berupa polusi, perubahan hormonal, pemakaian pestisida kimia, emisi radioaktif, resistensi antibiotik, dan pandemi. Virus korona, Covid-19 di antaranya, dianggap merupakan dampak dari perilaku manusia: sebuah penyakit antroposen.
Paradigma ini menawarkan cara pandang baru bahwa diperlukan biaya dan pengembangan teknosains untuk mengembalikan 'Kesehatan Planet' yang didukung usaha yang mengesampingkan kepentingan politik (David, dkk. 2021). Studi Arora dkk. (2020) menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 menghasilkan proses penyembuhan planet bumi secara signifikan.
Dengan adanya pengurangan mobilitas yang drastis, lockdown di hampir seluruh dunia, berdampak positif pada peningkatan kualitas lingkungan secara global: lapisan ozon, reduksi polutan, kualitas air dan udara meningkat, kehidupan koral di lautan terakselerasi, dan fauna liar yang lebih sehat.
Dalam kerangka cara pandang ini, kehadiran sepeda di kota dapat dimaknai sebagai reaksi manusia terhadap perubahan cara hidup yang dipaksakan kepada manusia oleh Covid-19. Lockdown, atau apapun bentuknya, telah membatasi mobilitas manusia dan digantikan dengan budaya kerja dari rumah.
Di masa pandemi, mobilitas kota berubah dari pergerakan orang dari dan ke tempat kerja menjadi pergerakan barang (paket dan makanan). Manusia tetap melakukan perjalanan tetapi berubah motif dan bentuk: rekreasi sekeluarga dan rekreasi individual.
Rekreasi sekeluarga mencari udara segar di luar kota. Bersepeda, joging, dan lari menjadi rekreasi individual yang dapat pula berkelompok memanfaatkan udara bersih dan jalan lempang tanpa mobil dan motor. Pekerjaan sebagian besar dapat dilakukan di rumah atau di mana saja dan pada waktu yang lebih fleksibel. Kota berubah peran.
Kota bukan lagi sebagai konsentrasi wadah manusia bekerja dengan mobilitas yang menghisap dan berdampak habis waktu di jalan karena kemacetan. Kota berubah menjadi tempat rekreasi, bersosialisasi sehat. Jalan dan tempat parkir kosong berubah menjadi sarana olah raga dalam kelompok kecil. Mobilitas tereduksi hanya untuk kepentingan esensial dan pergerakan barang. Kota menjadi lebih sehat dan menyehatkan.
Merefleksikan pandangan antroposen dan fenomena di atas, kota selama pandemi menawarkan satu gambaran nyata 'kota sehat' di masa depan yang mendukung penyehatan bumi. Gambaran tersebut tentu bukan pada lockdown-nya tetapi pada relasi antara rumah dan tempat kerja, perubahan motif dan moda mobilitas kota, dan keberpihakan kebijakan finansial, pembangunan infrastruktur, dan tata kelola.
Ketika definisi "bekerja" tidak lagi harus selalu dikaitkan dengan kehadiran di lokasi tertentu yang terkonsentrasi ("kantor") - kecuali untuk profesi yang memang mengharuskan kehadiran fisik - maka kota akan berubah. Investasi ribuan meter persegi gedung kantor dan gedung untuk kegiatan sejenis, beserta lahan parkirnya dapat dikonversi menjadi beragam ruang: rumah, galeri, bisnis rumahan, atau bahkan untuk kebun dan lahan pertanian kota.
Jalan kendaraan bermotor dapat dipersempit agar mobilitas dipaksa berubah ke transportasi massal, sepeda, sepeda/ motor listrik, dan becak listrik. Mobil pribadi harus mengalah, apalagi yang berbahan bakar fosil. Mobil listrik pun kalau mobil pribadi bukanlah solusi penyembuh kota karena tetap saja akan menghasilkan kemacetan. Area yang dihabiskan satu mobil di jalan dapat diisi oleh 10 sepeda.
Kebijakan finansial misalnya dalam hal pajak dan alokasi subsidi perlu diubah agar mendukung perubahan cara hidup di kota. Pendekatan perancangan infrastruktur juga perlu diubah ekstrem bukan lagi dengan mengalirkan manusia agar cepat (high speed mobility), melainkan mengalirkan barang dan layanan spesifik (kedaruratan misalnya) yang cepat tetapi memberikan kesempatan kepada aliran manusia berkecepatan rendah (slower speed) yang rekreatif.
Kota bukan lagi sebuah sistem mekanik melainkan sistem natural yang alami. Tentu saja hal ini harus didukung oleh kebijakan, standar perencanaan dan perancangan serta pengampunya yang tangguh karena akan melawan arus "kembali ke normal" yang saat ini sedang gencar terjadi. Dari sisi momentum, kota-kota di Indonesia secara umum memang tampak kurang mampu bereaksi dengan cara pandang antroposen dan penyehatan bumi ini.
Barangkali ketidakmampuan ini karena kita terlalu sibuk dengan argumentasi politik dan dampak politisasinya. Namun di belahan bumi lain telah mencontohkan, Paris misalnya yang akan mendiskriminasi mobil agar tidak masuk kota.
Paradigma 'Kesehatan Planet' memang baru dan akan kontroversial karena membongkar budaya lama yang telah menjadikan kita nyaman - walau tidak sehat. Kota pasca-Covid-19 mestinya digagas bukan sekedar jaga jarak dan cuci tangan, melainkan budaya berkota yang baru yang pasti radikal di awalnya.
Dengan politisasi, baik yang pro atau kontra pasti masing-masing mempunyai argumen yang tampak sahih. Namun ketika sepakat bahwa Covid-19, perubahan iklim, dan bencana ikutannya tidak mengenal warna politik, maka mengembalikan kota kita pada kekuatan dan mekanisme alami terbukti lebih menyehatkan badan, kota, dan bumi.
Ilya F Maharika, Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia Yogyakarta