REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memastikan tetap mengelola utang secara hati-hati dan berkelanjutan pada tahun depan. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah menargetkan rasio utang naik menjadi 43,76 persen sampai 44,28 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dari tahun ini sebesar 41,05 persen.
“Untuk rasio utang kami targetkan 43,76 persen hingga 44,28 persen pada tahun depan,” ujarnya saat Rapat Paripurna DPR, Senin (31/5).
Selain itu, pemerintah juga akan melakukan pendalaman pasar dalam negeri, sehingga cost of fund (biaya dana) dari penerbitan utang lebih kompetitif dan efisien.
"Pemerintah mendorong pembiayaan secara inovatif dengan pengembangan skema KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha) yang lebih masif," ucapnya.
Bendahara negara itu juga menjelaskan pemerintah akan memperkuat peran Sovereign Wealth Fund (SWF) atau dana abadi dan Special Mission Vehicles (SMV) Kementerian Keuangan, di antaranya PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI), PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII), hingga Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN).
"Penguatan peran SWF dan SMV, dalam mendorong efektivitas peran BUMN sebagai target pembangunan agar tetap mampu berperan aktif dalam akselerasi pencapaian target pembangunan, namun dengan akuntabilitas dan sustainabilitas neraca BUMN yang harus makin kuat," jelasnya.
Sri Mulyani juga mewaspadai tingkat imbal hasil surat utang negara (SUN), salah satunya rencana perubahan kebijakan negara maju, khususnya Amerika Serikat. Adapun tingkat bunga SUN tenor 10 tahun pada 2022 diproyeksikan sebesar 6,32 persen sampai 7,27 persen.
"Kita pernah belajar dari fenomena terdahulu seperti taper tantrum pada 2013, ekspektasi normalisasi kebijakan moneter AS dapat mendorong pembalikan arus modal dari negara berkembang," ucapnya.
Pemerintah, lanjut dia, akan terus bersinergi dengan otoritas moneter dan jasa keuangan dalam melakukan pemantauan dan mengambil langkah-langkah kebijakan secara antisipatif dan terkoordinasi, salah satu langkah sinergi dengan otoritas lain seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait pendalaman dan pengembangan pasar keuangan.
Pemerintah juga sepakat pasar keuangan domestik yang dalam, aktif, dan likuid sangat diperlukan untuk meningkatkan stabilitas pasar yang pada gilirannya akan menurunkan yield SUN.
"Pasar keuangan yang dalam, aktif, dan likuid akan menjadi sumber pembiayaan yang stabil, efisien, dan berkesinambungan. Hal ini akan meminimalkan dampak risiko volatilitas aliran modal investor asing terhadap yield SUN," ungkapnya.