REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020, membuat pemerintah pusat (pempus) bergerak cepat melakukan refokusing anggaran. Kebijakan itu akhirnya juga diikuti pemerintah daerah (pemda). Baik pempus maupun pemda memindahkan anggaran di sektor lain untuk digunakan penanganan Covid-19. Alhasil, kebijakan tersebut menjadikan anggaran di bidang kesehatan menjadi gemuk.
Jika pada awalnya anggaran bidang kesehatan di APBN 2020 ditetapkan sebesar Rp 132 triliun. Setelah dilakukan refokusing anggaran di kementerian/lembaga dan pemda membuat anggaran untuk bidang kesehatan bertambah Rp 51,09 triliun.
Angka itu berdasarkan hitungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Mei 2020. Tentu saja jumlah anggaran di bidang kesehatan bisa berubah, tergantung belanja yang dilakukan kementerian/lembaga dan pemda. Hanya saja, di sini tambahan anggaran itu ditujukan untuk penanganan Covid-19 di seluruh Indonesia.
Di APBD 2021, anggaran kesehatan melonjak di angka Rp 254 triliun. Alokasi itu sebenarnya bisa dimaklumi lantaran pandemi Covid-19 belum berlalu. Bahkan pada awal tahun ini, kasus Covid-19 di Indonesia mencapai puncaknya, dengan sempat tembus di angka 14 ribu per hari.
Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia sepertinya sudah mengantisipasi skenario terburuk dalam menghadapi pandemi Covid-19. Sehingga alokasi untuk sektor kesehatan ditetapkan sebesar hampir dua kali lipat dibandingkan di APBD 2021, sebelum dilakukan kebijakan refokusing anggaran.
Pemerintah pun mengumumkan untuk memberikan insentif bagi tenaga medis yang menjadi garda terdepan penanganan pandemi. Mereka yang terlibat merawat pasien Covid-19, dijanjikan mendapat tambahan pemasukan bulanan. Dokter spesialis mendapat Rp 15 juta per bulan, dokter umum Rp 10 juta, perawat dan bidan Rp 7,5 juta, dan tenaga nonmedis Rp 5 juta.
Mekanisme penyaluran dana dilakukan dengan ditransfer lewat rekening rumah sakit. Kebijakan itu sebagai bentuk apresiasi pemerintah kepada tenaga medis yang mengabdi dan berjuang mempertaruhkan risiko demi membantu masyarakat sembuh dari virus corona.
Tidak cukup sampai di situ, pemerintah bergerak cepat sejak awal, dengan merekrut para relawan untuk dijadikan pendukung tenaga medis. Jumlah relawan yang direkrut mencapai puluhan ribu jika ditotal keseluruhan, baik rekrutmen di tingkat pempus maupun pemda.
Melalui Satgas Penanganan Covid-19 yang berada di bawah komando Badan Penanganan Bencana Nasional (BNPB), sebanyak 23 ribu relawan direkrut secara khusus untuk terlibat dalam penanganan pasien Covid-19. Mereka ada yang berasal dari tenaga medis maupun nonmedis. Jumlah itu juga berasal dari rekrutmen yang diadakan pemda, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Misalnya, relawan medis maupun nonmedis di Jakarta ditempatkan di Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat. Pasien Covid-19 yang mengalami gejala ringan dan membutuhkan perawatan bisa menjalani isolasi mandiri di RSD Wisma Atlet. Hal itu dilakukan agar pasien tidak menularkan penyakit ke orang dekatnya yang ada di rumah.
Sampai di sini, dengan segala kekurangannya, upaya pemerintah dalam merespon pandemi patut diapresiasi. Dua jempol layak diberikan dalam upaya pemerintah mencegah penularan Covid-19 semakin masif di masyarakat. Dengan adanya RSD Wisma Atlet, pasien Covid-19 menjadi merasa tenang daripada harus menjalani isolasi di rumah, yang berpotensi malah menjadikan kluster baru.
Hanya saja, seiring berjalannya waktu, muncul masalah yang dihadapi pemerintah. Bukan terkait penanganan pasien Covid-19, melainkan sistem administrasi keuangan. Anggaran jumbo yang diberikan untuk dikelola Kementerian Kesehatan (Kemenkes), ternyata tidak bisa dengan mudah digunakan atau dicairkan.
Yang paling mencolok, jelas kasus tertundanya insentif bagi tenaga kesehatan (nakes) maupun relawan. Hal itu terkait dengan sistem pembayaran insentif yang ternyata tidak semudah diduga. Mulanya, pemerintah menjanjikan insentif dicairkan per bulan.
Sayangnya, sudah berjalan berbulan-bulan, kebijakan itu sepertinya masih belum bisa dieksekusi secara sempurna. Buktinya, hingga kini, masalah insentif untuk nakes dan relawan masih terus terjadi. Tidak sedikit dokter maupun relawan menyuarakan haknya yang belum dipenuhi lewat akun media sosialnya. Mereka tetap sabar menunggu haknya dipenuhi pemerintah.
Ternyata, pemerintah juga memiliki alibi mengapa belum bisa mencairkan seluruh dana insentif tersebut. Pemerintah berdalih, setelah berkonsultasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ternyata pemberian insentif tidak bisa dilakukan ke fasilitas kesehatan atau RS.
Pembayaran harus dilakukan dengan mengirim langsung ke nomor rekening penerima. Hal itu jelas berbeda dengan ketentuan awal. Akar masalah itulah yang membuat pemerintah belum bisa memberikan hak kepada mereka yang sudah mengabdikan diri untuk berjibaku dalam melayani pasien Covid-19.
Sehingga Kemenkes hingga kini masih menata administrasi dengan memberi solusi untuk membukakan nomor rekening tabungan bank BUMN. Jika langkah itu selesai dilakukan maka tidak ada hambatan lagi bagi tenaga medis dan nonmedis untuk mendapatkan haknya berbulan-bulan yang tertahan di rekening pemerintah.
Adapun total tunggakan Kemenkes kepada nakes dan relawan mencapai Rp 1,285 triliun per April 2021. Angka itu juga merupakan akumulasi tunggakan insentif tahun anggaran 2020 sebesar Rp 790,289 miliar.
Jangan sampai sudah hampir 15 bulan pandemi berjalan, persoalan administrasi terkait pencairan keuangan di tingkat kementerian hingga pemda masih terkendala. Karena bagaimana pun, puluhan ribu nakes dan relawan memiliki tanggungan pribadi atau keluarga. Sehingga mereka pasti sangat membutuhkan insentif segera cair dan bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena jika masalah itu tidak tertangani dengan baik maka bisa berimbas pada penanganan Covid-19 di Indonesia, yang menjadi tidak maksimal. Jangan sampai pengabdian mereka terganggu masalah psikologis akibat janji pemerintah yang tak kunjung terealisasi. Di sini, BPK bisa berperan untuk membantu supaya masalah itu tidak terselesaikan secara menyeluruh.
Kontribusi BPK
Untuk itulah, diperlukan peran BPK dalam menangani masalah penggunaan anggaran untuk penanganan Covid-19. BPK pada awal Mei 2021, sudah menyerahkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) kinerja dan LHP dengan tujuan tertentu (DTT) kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di kantor pusat BPK, Jakarta. Anggota II BPK Pius Lustrilanang yang menyerahkan langsung LHP kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Dalam kesempatan itu, Pius menyinggung pemerintah yang merespon pandemi dengan menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang diubah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Tujuan dikeluarkannya payung hukum adalah agar pemerintah dapat mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk mengatasi dan meminimalkan dampak yang ditimbulkan pandemi Covid-19.
Pius menyebut, BPK melaksanakan pemeriksaan kinerja atas efektivitas perencanaan dan penganggaran sebagai bentuk akuntabilitas manajemen dan kebijakan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2020. "Pemeriksaan BPK tersebut dilakukan berdasarkan standar pemeriksaan keuangan negara (SPKN) dan bertujuan untuk menilai efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara," kata Pius.
BPK sepertinya sudah mengidentifikasi, masalah penggunaan anggaran untuk penanganan Covid-19, perlu diperbaiki. Pun penggunaannya perlu diefektifkan dan transparan demi tepat sasaran. Dengan saran BPK seperti itu, sepertinya pempus perlu bergerak cepat menyelesaikan segala permasalahan terkait anggaran untuk digunakan penanganan pandemi dan sektor lainnya.
Belum lagi, persoalan pengadaan barang dan jasa yang berpotensi terjadi penyimpangan jika tidak ada pengawasan. Kasus yang ditangani BPK Sumatra Barat (Sumbar), misalnya, menemukan adanya dua indikasi kerugian negara terkait penanganan Covid-19 oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar.
Potensi kerugian negara terjadi sebesar Rp 49 miliar terkait belanja barang dan jasa penanganan Covid-19 dengan sistem tunai. Selain itu, terdapat dugaan penggelembungan harga untuk pengadaan cairan pembersih tangan (hand sanitizer) sekitar Rp 4,9 miliar.
Itu baru satu kasus yang mencuat ke publik. Padahal ada lebih 500 pemda tingkat I, 33 pemda tingkat II, dan kementerian/lembaga yang juga mengalokasikan anggaran untuk penanganan Covid-19.
Belum lagi jika membicarakan masalah bantuan sosial (bansos) yang dikorupsi di Kementerian Sosial (Kemensos). Kasus yang menjerat Menteri Sosial Juliari Peter Batubara di KPK menandakan, proses pengadaan yang tak transparan. Alhasil, nilai bansos yang disalurkan ke masyarakat terdampak pandemi, menjadi berkurang.
Sampai di titik ini, keberadaan BPK sangat dibutuhkan perannya untuk mengaudit segala pengeluaran pemerintah terkait Covid-19. BPK wajib memeriksa secara detail laporan keuangan yang dibelanjakan untuk penanganan pandemi.
Jangan sampai, pos belanja barang maupun jasa dimainkan oknum pejabat tertentu untuk meraup keuntungan pribadi. Padahal, anggaran yang tersedia itu sejatinya digunakan untuk membantu pasien Covid-19 maupun warga yang terdampak pandemi.
Masalah pencairan insentif nakes yang terus molor dari jadwal wajib mendapat perhatian serius. Jangan sampai, persoalan itu menjadi berlarut-larut. BPK mesti membantu mempercepat jika memang diminta mengaudit anggaran penanganan Covid-19 oleh pemerintah. BPK juga perlu mengawal penggunaan uang negara agar bisa disalurkan ke nakes dan relawan.
BPK juga mesti menyentil kementerian terkait agar tidak bertele-tele dalam mencairkan anggaran. Dengan menjalankan tugas itu maka BPK bakal menjadi penjaga pemerintah agar anggaran penanganan Covid-19 digunakan secara tepat sasaran. BPK harus pula mendesak kementerian membenahi segala kekurangan terkait pelaporan penggunaan anggaran.
Ada skala prioritas yang harus dibelanjakan dalam pengadaan alat medis dan penunjangnya. Masalah pencairan nakes dan relawan tidak boleh lagi dikesampingkan. Persoalan penyaluran bansos juga mesti diawasi. Pun dengan anggaran belanja barang dan jasa terkait Covid-19 wajib diaudit secara transparan.
Sehingga anggaran yang dikucurkan pemerintah bisa dirasakan manfaatnya untuk kepentingan masyarakat luas. Di sinilah, posisi BPK sangat penting untuk mewujudkan semua harapan itu. Tujuannya tentu penggunaan anggaran tepat sasaran dan dibelanjakan sesuai kebutuhan.