REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Kejaksaan Negeri Ciamis menetapkan dua tersangka tindak pidana korupsi pengadaan alat absensi atau "finger print" di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Tahun Anggaran 2017-2018. Dugaan korupsi ini menyebabkan kerugian negara mencapai Rp800 juta.
Kepala Kejaksaan Negeri Ciamis Yuyun Wahyudi di Ciamis, Selasa (1/6), mengatakan dua tersangka yang terjerat dalam kasus tersebut, yakni mantan sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis berinisial WA, dan pengusaha pengadaan alat absensi inisial YSM. "Kejaksaan Negeri Ciamis telah melakukan penetapan tersangka terhadap dua orang kasus perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait adanya penyelewengan pengadaan mesin absensi atau 'finger print'," kata Yuyun.
Ia menuturkan tersangka mantan Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis dalam melakukan tindakan pelanggaran hukumnya diawali dengan cara memperkenalkan pengusaha dan menawarkan alat absensi ke UPTD Pendidikan seluruh Ciamis. Tersangka menawarkan pemasangan alat absensi itu dengan harga jual sebesar Rp4 juta dari harga sebenarnya Rp2,5 juta, kemudian menjanjikan setiap UPTD mendapatkan bonus dari hasil penjualan sebesar Rp1 juta per unit jika tunai dan Rp500 ribu jika kredit.
"Harga 'finger print' sebesar Rp4 juta, yang mana sebelumnya harga ditawarkan oleh YSM sebesar Rp2,5 juta," katanya.
Ia mengungkapkan pelanggaran hukum yang dilakukan tersangka yaitu selain menaikkan harga jual, juga menyalahi penggunaan anggaran biaya operasional sekolah (BOS) tahun 2018. Pembelian alat itu, kata dia, dilakukan dengan cara pengadaan terlebih dahulu di tiap sekolah dasar dan sekolah menengah pertama menggunakan dana talangan, kemudian diganti dengan dana BOS tahun 2018.
"Pengadaan dulu, dipakai uang dulu yang ada, sedangkan anggarannya tahun 2018 itu baru muncul, itu sudah mendahului, itu pelanggaran hukum," katanya.
Akibat perbuatannya yang telah merugikan uang negara sebesar Rp800 juta itu, kedua tersangka dijerat Undang-undang tindak pidana korupsi dengan ancaman kurungan minimal empat tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara. Kejaksaan telah menahan seorang tersangka pengusaha selama 20 hari ke depan, sedangkan tersangka WA belum ditahan karena berdasarkan keterangan dari rumah sakit kondisinya sedang sakit.
"Yang bersangkutan WA belum dapat dilakukan penahanan," katanya.