Kamis 03 Jun 2021 05:23 WIB

APKS PGRI DKI Jakarta Gelar Webinar Refleksi Pancasila

Webinar ini merupakan kegiatan untuk memperingati Hari Lahirnya Pancasila.

Red: Irwan Kelana
APKS PGRI DKI Jakarta menggelar Webinar Refleksi Pancasila dan Pendidikan Karakter Bangsa, Selasa (1/6).
Foto: Dok PGRI
APKS PGRI DKI Jakarta menggelar Webinar Refleksi Pancasila dan Pendidikan Karakter Bangsa, Selasa (1/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) Persatuan Guru Republik Indonesia Provinsi DKI Jakarta berkolaborasi dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP IPS) dan Asosiasi Guru PPKn Indonesia (AGPPKnI) menggelar Webinar Series #2 Kajian Ideologi dan Pendidikan secara daring dengan tema “Refleksi Pancasila dan Pendidikan Karakter Bangsa”.  Webinar ini dilaksanakan pada Selasa (1/6) dan diikuti 420 peserta.

Acara dibuka  oleh Sumardiansyah Perdana Kusuma selaku ketua APKS PGRI Provinsi DKI Jakarta. Dalam sambutannya, Sumardiansyah menyatakan bahwa kegiatan webinar ini merupakan kegiatan untuk memperingati Hari Lahirnya Pancasila.

Secara formal pembahasan mengenai Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Soekarno lewat pidato 1 Juni 1945 di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Di sana ia menerjemahkan Pancasila sebagai philosofische grondslag, pikiran sedalam-dalamnya tentang bagaimana kita mendirikan negara yang merdeka dan berdaulat. Setelahnya Pancasila sebagai dasar negara terus dibahas di sidang Panitia Sembilan 22 Juni 1945 melalui rumusan Piagam Jakarta, sampai Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945 yang menghasilkan Pengesahan Pancasila sebagai dasar negara dengan mengubah sila pertama Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Pembahasan Pancasila mulai dari 1 Juni 1945, 22 Juni 1945, sampai 18 Agustus 1945 adalah proses berkelanjutan yang harus dijelaskan dalam satu tarikan nafas,” ujar Sumardiansyah seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Pancasila menjadi sebuah ironi ketika konsepsi ideal bertentangan dengan realitas. Ketika Pancasila dibenturkan dengan kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan, maka di titik itu, Pancasila rasanya seperti dilucuti dari jubah kebesarannya. "Kita harapkan diskusi kali ini, dapat menemukan ide konstruktif untuk menempatkan Pancasila secara proporsional. Pancasila adalah kebanggaan kita. Pancasila adalah identitas kita. Pancasila adalah jatidiri kita,” tegas Sumardiansyah.

Webinar kali ini menghadirkan tiga narasumber dan dimoderatori oleh Danang Setia Utomo (wakil Ketua APKS Bidang SMP/MTs ).

Pemaparan pertama oleh Batara Hutagalung (Pemerhati Sejarah) diawali dengan penjelasan mengenai perdebatan lahirnya Pancasila selalu berulang kembali menjelang 1 Juni dan setiap 1 Juni. Banyak peristiwa sejarah ditulis bukan berdasarkan kajian-kajian akademik, melainkan untuk kepentingan politik. “Jangan membangun bangsa dan negara di atas kebohongan-kebohongan penulisan sejarah,” tegas Batara Hutagalung.

Narasumber kedua, Jumardi (wakil Ketua APKS Bidang Perguruan Tinggi)  memaparkan tentang Pancasila dan Kearifan Lokal untuk Indonesia Berkemajuan. Bung Karno dan tokoh lainnya mengambil sumber dari lokalitas Indonesia. Harus diakui Indonesia berdiri bukan karena kemampuannya sendiri, tapi Indonesia berdiri dari perbedaan kebudayaan dari Aceh hingga Papua. “Perbedaan kebudayaan harusnya menjadi kekuatan, bukan malah melemahkan kita sebagai sebuah bangsa,” paparnya.

Narasumber ke tiga Unro (ketum Asosiasi Guru PPKn Indonesia)  memaparkan Pancasila dengan judul “Pancasila Milik Kita”. Menurutnya, Pancasila sudah teruji menjadi perekat, pengikat dan penguat kerukunan kehidupan bangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila telah menjadi kekuatan pendorong untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Di dalam Pancasila itulah tercantum kepribadian dan pandangan hidup bangsa yang telah diuji kebenaran dan keampuhannya, sehingga tidak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.

Harus diakui kelemahan bangsa dalam menghadapi liberalisasi sebagai buah dari globalisasi adalah adanya kekhawatiran timbulnya berbagai ekses negatif. Salah satunya adalah kekhawatiran terjadinya krisis ideologis yang akhirnya akan menggerus jatidiri sebuah bangsa yang Pancasilais. “Pancasila adalah milik kita, kita punya kewajiban konstitusional dan kewajiban moral untuk menjaga, melestarikan dan mengamalkannya,” tegas Unro.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement