REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengungkapkan kisi-kisi kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) barang-barang mewah. Adapun rencana ini akan berlaku barang-barang yang tidak begitu dibutuhkan masyarakat secara umum, namun dikonsumsi oleh kelompok atas.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah akan mengubah pengenaan tarif PPN menjadi multitarif. "Barang-barang yang tidak dibutuhkan masyarakat banyak tapi dikonsumsi oleh kelompok atas yang sifatnya terbatas, itu bisa dikenakan pajak yang lebih tinggi," ujarnya saat acara Infobank Talk News dengan tema Ekonomi Pulih Menuju Kebangkitan Nasional secara virtual, Kamis (3/6).
Artinya, pengenaan kenaikan PPN tidak dipukul rata, sehingga kenaikan pajak hanya berlaku barang tertentu. Sebaliknya, akan ada beberapa barang yang justru berpotensi turun tarif PPN-nya.
"Kita yang memberikan akses publik terhadap barang-barang yang dibutuhkan, yang selama ini mungkin dikenai pajak 10 persen, nanti bisa lima persen sampai tujuh persen," ungkapnya.
Namun, menurutnya, belum ada gambaran berapa besaran tarif PPN yang akan dikenakan itu. Sebab, skemanya masih terus dibahas di internal pemerintah dan mitra legislatif.
"Ini yang lagi dirancang, jadi lebih ke bagaimana sistem PPN kita lebih efektif dan kompetitif serta menciptakan fairness (keadilan) dan berdampak baik pada perekonomian," ucapnya.
Dia menekankan kebijakan PPN nantinya bukan cuma sekadar naik atau turun, tapi bagaimana tarif benar-benar bisa memberikan fasilitas dan layanan kepada masyarakat. "PPN isunya bukan soal naik atau tidak, tapi kita ingin kurangi distorsi, kita ingin memberikan fasilitas yang tepat sasaran," ucapnya.