Jumat 04 Jun 2021 15:53 WIB

Mewarisi “Api” Soekarnoisme

Kita tak akan menemukan jawaban memuaskan jika hanya di narasi lama marhaenisme

Red: A.Syalaby Ichsan
Pengunjung melihat koleksi foto Presiden RI Pertama Ir Soekarno di Gedung Juang, di Alun-alun Serang, Banten, Rabu (24/2). Setelah bertahun-tahun terbengkalai Pemda setempat merevitalisasi kembali Gedung Juang tersebut dengan menerapkan sistem informasi digital untuk dijadikan tempat pembelajaran sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan.
Foto: ANTARA FOTO
Pengunjung melihat koleksi foto Presiden RI Pertama Ir Soekarno di Gedung Juang, di Alun-alun Serang, Banten, Rabu (24/2). Setelah bertahun-tahun terbengkalai Pemda setempat merevitalisasi kembali Gedung Juang tersebut dengan menerapkan sistem informasi digital untuk dijadikan tempat pembelajaran sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan.

Oleh Ichwan Arifin (Alumnus Pasca Sarjana UNDIP Semarang. Ketua Dewan Pertimbangan PA GMNI Bojonegoro)

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah sekitar 50 menit lepas landas dari Bandara El Tari Kupang dan terbang rendah sejarah garis pantai, akhirnya pesawat mendarat di Lapangan Terbang (Lapter) Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Lapter Ende tidak besar, hanya bisa didarati pesawat-pesawat kecil. Fasilitas pendukungnya pun sangat sederhana. Namun keberadaannya sangat membantu mobilitas masuk dan keluar Ende. 

Perjalanan ini mengawali jejak langkah menyusuri situs sejarah Bung Karno di Pulau Ende, beberapa tahun silam. Dua lokasi wajib dikunjungi adalah rumah pengasingan Bung Karno dan Taman Renungan Bung Karno. Rumah itu sangat sederhana, terletak di tengah perkampungan penduduk. Di situlah, Bung Karno menjalani hidup sebagai orang buangan pemerintah kolonial Belanda.

 Tidak jauh dari situ, terdapat taman dengan pohon sukun yang rindang di tengahnya. Terletak di pesisir pantai sehingga pandangan kita bisa menatap laut lepas. Diterpa angin laut sehingga semilir, teduh, nyaman dan indah. Bung Karno sering menghabiskan waktu disitu, melakukan refleksi dan perenungan terkait pergerakan kemerdekaan nasional. Karena itulah, taman tersebut kemudian diberi nama Taman Renungan Bung Karno. 

Keberadaan situs Bung Karno tersebut sangat penting sebagai mata rantai sejarah bangsa. Sejarah harus dilihat sebagai pasangan dialog untuk merefleksikan masa lalu, direfleksikan dengan realitas kekinian sebagai upaya merumuskan jejak langkah ke depan.  Jadi bukan dalam rangka mengenang masa silam dan cerita nostalgia Bung Karno belaka. Jika hanya itu, kita akan terjebak mewarisi “abu” daripada “api” Soekarnoisme. 

Marhaenisme

Untuk tidak mewarisi abu Soekarnoisme, maka dalam Bulan Bung Karno, Juni 2021, menjadi momentum mendiskusikan gagasan dan pemikirannya tentang Indonesia. Diantaranya adalah marhaenisme. Bung Karno merumuskan marhaenisme sebagai ideologi perlawanan terhadap kapitalisme pada masa itu. Buah kontemplasi dan refleksinya terhadap penderitaan rakyat dibawah kolonialisme, pergulatan dengan ragam pemikiran besar (seperti marxisme, liberalisme atau sosialisme), menjadi daya ungkit bagi Soekarno melahirkan ideologi yang menjadi dasar perjuangan membebaskan rakyat dari belenggu kemiskinan dan penderitaan.

Bung Karno mengenalkan ideologi itu kepada rakyat melalui cerita pertemuannya dengan petani bernama Marhaen. Terlepas dari pertemuan itu betul ada, atau cerita itu merupakan simbolisasi sebuah proses pergulatan pemikiran, Bung Karno berhasil menggambarkan kehidupan mayoritas rakyat Hindia Belanda Indonesia yang hidup miskin pada figur tersebut. Bahkan, nama itu dilekatkan menjadi nama ajarannya; marhaenisme.

Sebagai sebuah ideologi, marhaenisme sangat dinamis. Namun, perjalanan konseptualnya belum tuntas. Sejarah memberi pelajaran, tafsir dan platform perjuangan dapat berubah seiring dengan pergantian rezim atau konfigurasi politik nasional dan dunia.

Saat bandul politik Indonesia cenderung ke “kiri”, marhaenisme ditafsirkan sebagai marxisme yang diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia. Dapat dipahami, marxisme mengilhami perjuangan pergerakan kemerdekaan dari banyak negara terjajah pada masa itu,

Begitupula Bung Karno dengan marhaenismenya. Namun ada perbedaan mendasar. Misalnya, marhaenisme tidak menggunakan perjuangan kelas dan konsep diktatur proletariat, tapi menawarkan sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme.  Yaitu, demokrasi yang bertumpu pada permufakatan masyarakat serta pemerataan dibidang ekonomi dan sosial. Nasionalisme yang timbul sebagai rasa cinta pada manusia dan bertumpu pada kemanusiaan, serta menjadi bagian dari perjuangan umat manusia di dunia melawan penindasan.  

Di bawah rezim Orba, marhaenisme masuk liang kubur sejarah. Kemudian, saat Orba tumbang dan diganti era reformasi, ada upaya membangunkan kembali ideologi tersebut. Didorong motif romantisme politik atau berangkat dari kesadaran kebutuhan ideologi untuk menjawab tantangan dan perkembangan dunia, menjadi pertanyaan lebih lanjut.

Kapitalisme Baru dan Revolusi Industri

Saat ini, kapitalisme telah berkembang dalam wajah berbeda. Sangat jauh dengan situasi pada saat marhaenisme dirumuskan. Kapitalisme baru, lahir dari revolusi industri IV dengan karakter yang berbeda dengan kapitalisme lama. Transparansi dan efisiensi merupakan kata kunci kapitalisme baru. Menyingkirkan pemburu rente yang mengambil keuntungan dari inefisiensi, praktik suap, pengaturan regulasi, penghilangan kompetisi usaha, dan sebagainya. Disisi lain menghadirkan keuntungan pada masyarakat karena adanya transparansi dan efisiensi. 

Sejak revolusi industri, selalu ada guncangan perubahan dan kegagapan masyarakat dunia dalam menyikapinya. Revolusi Industri I, ditandai dengan mekanisasi produksi setelah ada penemuan mesin uap. Revolusi Industri II, terjadi produksi massal setelah penemuan listrik. Revolusi Industri III, terjadi otomatisasi produksi dengan menggunakan teknologi elektronik dan informasi.

Soedaryanto dari Pergerakan Kebangsaan mengemukakan, model sosial, ekonomi dan politik pada saat itu seperti feodalisme, monarkisme dan agama tradisional tidak mampu merespon dampak perubahan yang terjadi pada abad 20. Jutaan pekerja tercerabut dan ekonomi modern juga terus berubah. Manusia kemudian mengembangkan model-model sosial, ekonomi, dan politik yang benar-benar baru. Lahirlah demokrasi liberal, kediktatoran komunis, dan rezim fasis. 

Fase selanjutnya terjadi pertarungan diantara ideologi besar tersebut. Kebebasan, kehendak bebas individu, hak azasi manusia, kesetaraan dalam politik dan ekonomi merupakan “mantra” kapitalisme-liberalisme dan memunculkannya sebagai pemenang. Stabilitas dan kemakmuran berhasil dihadirkan di sebagian besar masyarakat dunia.

Namun, krisis keuangan global tahun 2008 telah membuat masyarakat dunia kecewa terhadap narasi liberalisme. Soedaryanyo menyebutkan, krisis itu membuka mata bahwa liberalisme terjebak dalam kemacetan. Kaum liberal tidak mengerti bagaimana sejarah menyimpang dari skenario yang dinarasikan sebelumnya.

Tidak memiliki jawaban yang jelas terhadap masalah terbesar manusia hari ini, yaitu keruntuhan ekologi dan disrupsi teknologi. Gagap dalam merespon terobosan-terobosan baru di bidang teknologi seperti kecerdasan buatan (artifisial intelligence), internet-untuk-segala (internet of things), kendaraan otomatis, nanoteknologi, bioteknologi, sains material, penyimpanan energi, serta komputasi kuantum inovasi buah revolusi industri IV.

Tantangan kali ini jauh lebih kompleks. Yuval Noah Harari, menyebutnya sebagai revolusi kembar teknologi informasi (infotek) dan teknologi biologis (biotek). Pada saat keduanya menjadi satu, akan menghasilkan algoritma Big Data yang dapat memonitor dan memahami perasaan manusia jauh lebih baik dari yang manusia sendiri. Imbasnya, otoritas dapat beralih dari manusia ke komputer yang dapat meretas data manusia. Inilah yang disebut manusia data (homo zeus).

Kita perlu visi baru untuk merespon perkembangan tersebut. Jika liberalisme tidak mampu mengurai kemacetan yang dihadapi, mungkin akan ada pencarian ideologi baru. Dapatkah marhaenisme menjadi dasar menata formasi sosial baru tersebut? Kita tidak akan menemukan jawaban memuaskan jika hanya bertumpu pada narasi lama marhaenisme.  Selamat Merayakan Bulan Bung Karno!

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement