Jumat 04 Jun 2021 17:10 WIB

Jangan Ada Syahwat dalam Sertifikasi Dai Wawasan Kebangsaan

Sertifikasi dai dinilai harus bertujuan hanya karena Allah SWT.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Agung Sasongko
Ahmad Satori Ismail, Ketua Ikatan dai Indonesia
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ahmad Satori Ismail, Ketua Ikatan dai Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Ketua Umum Ikatan Dai Seluruh Indonesia (Ikadi) KH Ahmad Satori mengingatkan bahwa jangan sampai ada syahwat-syahwat dari golongan tertentu dalam sertifikasi dai berwawasan kebangsaan. Sertifikasi dai dinilai harus bertujuan hanya karena Allah SWT.

Menurut dia, hadirnya sertifikasi dai berwawasan kebangsaan pada hakikatnya adalah bagus. Asalkan tujuannya adalah untuk meningkatkan kompetensi dai, dapat menjadikan rakyat Indonesia mengerti mengenai Islam dan bangsa, serta dapat memperkuat persatuan NKRI. Namun apabila tujuan dari sertifikasi tersebut hanyalah ‘titipan’ dari golongan-golongan tertentu, ia pun menyayangkan hal tersebut.

Baca Juga

“Kalau untuk menguatkan persatuan dan meningkatkan kompetensi dai, itu bagus-bagus saja. Bukan untuk tujuan syahwat-syahwat dari golongan tertentu,” kata KH Satori saat dihubungi Republika, Jumat (4/6).

Secara keseluruhan, pihaknya belum memerinci benar bagaimana peraturan detail proses sertifikasi dai berwawasan kebangsaan yang digodok Kementerian Agama (Kemenag). Namun apapun bentuk sertifikasinya, dia berpesan agar jangan sampai para dai yang biasa mengisi khutbah maupun kajian keagamaan di masjid-masjid dilarang untuk melakukan aktivitas khutbahnya.

Sebab, kata dia, tak dapat dipungkiri meski belum tersertifikasi sekalipun para dai tersebut sangat diminati oleh warga masyarakat setempat. Jika dai tidak memiliki sertifikat berwawasan kebangsaan lantas tak boleh berceramah, kata dia, maka hal itu seakan-akan upaya memadamkan cahaya Allah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement