REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Menurut Komite Penyelamat Internasional (IRC) keputusan pemerintah Inggris untuk memotong pengeluaran bantuan luar negeri akan mengancam kelangsungan hidup 55 ribu wanita Suriah yang melarikan diri karena pelecehan. Selama krisis, yang paling banyak menjadi korban adalah wanita.
Wakil Presiden Regional IRC untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Su'ad Jarbawi, mengatakan situasi kemanusiaan di Suriah sangat buruk. Terlebih, ketika kasus Covid-19 terus meningkat dan orang-orang menghadapi krisis kelaparan.
“Rakyat Suriah membutuhkan kepastian dan dukungan. Pemotongan bantuan ini hanya akan menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan,” kata Jarbawi kepada the Independent.
Inggris menetapkan rencana awal tahun ini untuk mengurangi anggaran bantuan luar negerinya dari 0,7 persen dari produk domestik bruto menjadi 0,5 persen, sekitar 4 miliar poundsterling. Keputusan tersebut sehubungan dengan dampak virus korona terhadap sektor ekonomi. Namun, banyak pihak dalam negeri dan komunitas internasional yang menuai kritik tajam.
Kantor Luar Negeri, Persemakmuran, dan Pembangunan Inggris mengatakan pemotongan itu hanya tindakan sementara.
Ada 30 anggota parlement konservatif dan mantan Perdana Menteri Sir John Major yang meminta pemerintah untuk tidak memaksakan keputusan itu. Sebab, negara-negara yang akan kehilangan sebagian besar dari pemotongan bantuan Inggris Suriah, Libya, Yaman dan Lebanon akan sangat berdampak.
Dikutip Arab News, Ahad (6/6), IRC juga memperingatkan pemotongan dananya dapat memengaruhi program kesehatannya di Suriah dengan 300 ribu orang membutuhkan perawatan kesehatan primer dan dukungan kesehatan mental. Guru di Provinsi Idlib, Reem Khassab mengatakan perjuangan ekonomi bagi wanita Suriah telah memburuk secara drastic dalam beberapa bulan terakhir karena inflasi.
“Kekerasan berbasis gender masih menjadi masalah utama yang membutuhkan perhatian dan dukungan lebih untuk meringankan perjuangan perempuan secara sosial dan ekonomi,” kata Khassab.
Sumber: arabnews