REPUBLIKA.CO.ID, Setiap pagi, Ko Phyo memandikan putranya yang berusia dua tahun sambil duduk di kursi roda. Kantong plastik terlihat menutupi sisa pahanya yang hancur oleh peluru tentara Myanmar saat ia mengikuti aksi demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon. Pria 24 tahun itu merupakan orang tua tunggal di negara yang kacau balau sejak kudeta militer terjadi 1 Februari 2021.
Ko Phyo bergabung dengan gerakan protes nasional di Yangon. Ia bertindak sebagai penjaga yang berusaha melindungi demonstran dari pasukan keamanan selama pawai dan pemogokan pro-demokrasi setiap hari.
Pada sebuah aksi demonstrasi di awal Maret, bentrokan dengan aparat terjadi. Ko Phyo bersama demonstran lainnya berusaha melarikan diri agar tidak ditangkap dan dipukuli. "Sayangnya posisi saya terpojok saat polisi dan seorang tentara maju. Kemudian mereka mulai menembak, saya tertembak di kaki, dan jatuh ke tanah," katanya kepada Reuters akhir Mei lalu.
Peluru yang mengenainya memutuskan tiga arteri. Tentara yang melepaskan tembakan melepaskannya dengan pisau, dan seorang polisi setempat yang dikenalnya membawanya ke rumah sakit militer, perjalanan yang memakan waktu lebih dari dua jam, katanya.
"Saya mulai merasakan sakit dan saya tidak tahan. Saya mengatakan kepada mereka untuk segera memotong kaki saya. Mereka memotongnya pada hari ketujuh."
Kekhawatiran tentang masa depan putranya mendorongnya untuk bergabung dengan protes anti-junta dan memberinya motivasi untuk pulih lebih cepat dan meninggalkan rumah sakit setelah 12 hari menjalani perawatan.
Dia melihat kehilangan kakinya sebagai pengorbanan kecil dibandingkan dengan ratusan yang terbunuh, termasuk salah satu rekan penjaganya, seorang gadis berusia 15 tahun.
"Semua pengunjuk rasa di luar sana berjuang untuk generasi berikutnya. Militer seharusnya melindungi rakyatnya sendiri, tetapi mereka malah membunuh kita. Kita harus terus berjuang. Kita harus memenangkan revolusi ini untuk membawa keadilan bagi jiwa-jiwa yang jatuh," katanya.
Ko Phyo kini tengah menyesuaikan diri dengan kehidupan sebagai orang yang diamputasi kakinya. Dirinya telah belajar untuk bergerak di kursi roda di rumahnya dengan tiga kamar dan menggunakan kruk saat berada di luar ruangan untuk menangani jalan yang tidak rata dan jalan setapak yang membentang di antara ladang hijau di kotapraja, Yangon.
Dia berharap untuk kembali ke pekerjaannya menangani perizinan kendaraan dengan otoritas transportasi jalan, ketika stabilitas akhirnya kembali.