REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan, upaya perobohan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dilakukan sejak dahulu. Kini, upaya tersebut masih dilakukan dan dia menduga dalangnya ialah para koruptor yang dendam atau koruptor yang merasa takut perbuatannya akan ketahuan.
"Orang yang merasa punya data lain, mungkin koruptor-koruptor bener yang dendam, koruptor yang belum ketahuan, tapi takut ketahuan, ini sekarang bersatu hantam itu (KPK)," ungkap Mahfud dalam dialog terbuka yang dilaksanakan di Universitas Gadjah Mada (UGM), dikutip dari akun Youtube UGM, Senin (7/6).
Mahfud mengatakan, dia pro lembaga antirasuah itu sejak dahulu. Dia mengungkapkan, saat menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK), upaya perobohan KPK lewat peraturan perundang-undangan sudah dilakukan oleh sejumlah pihak. Dia mengingat, ada 12 kali upaya perobohan KPK lewat uji materiel di MK.
"Saya sejak dulu pro KPK. Sejak dulu. Saya ketua MK, berapa kali, 12 kali itu, mau dirobohkan lewat UU. Saya menangkan KPK terus," kata Mahfud.
Dia juga menyatakan, keputusan tentang KPK itu tidak hanya berada di tangan pemerintah, tetapi juga ada di tangan DPR, partai politik, serta masyarakat. Mahfud menceritakan, ketika presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menyikapi persoalan KPK, hantaman datang dari kanan dan kiri.
"Itu kan sudah mengeluarkan, hantam kanan-kiri. DPR-nya ndak setuju, partainya ndak setuju. Gimana, kalo mengeluarkan perppu lalu ditolak? Artiny, permainan itu tidak mudah," ungkap dia.
Sebelumnya, penyidik senior KPK Novel Baswedan menegaskan tengah terjadi upaya nyata pelemahan lembaga antirasuah. Hal itu kembali dia singgung saat menemui Ketua Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Gomar Gultom.
"Saya khawatir ini adalah rangkaian dari upaya pelemahan KPK dan kalau apabila ini adalah tahap akhir dari upaya pelemahan, tentulah memerlukan dukungan dari semua pihak," kata Novel Baswedan di Jakarta, Jumat (28/5).
Dia mengatakan, memerlukan bantuan perlawanan semua pihak di nusantara guna mencegah pelemahan KPK karena pemberantasan korupsi adalah harapan dari masyarakat harapan dari semua elemen masyarakat. Menurutnya, kalau polemik saat ini ternyata adalah pelemahan atau upaya tahap akhir untuk melemahkan KPK tentu tidak boleh dibiarkan.
"Saya khawatir kalau ini dibiarkan terjadi, maka harapan kita untuk memberantas korupsi dengan baik akan jauh dari apa yang diinginkan," katanya.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati memandang polemik penyingkiran 75 pegawai KPK melalui tes wawasan kebangsaan (TWK) menunjukkan berlanjutnya peristiwa "Cicak vs Buaya". Bedanya, serangan kali ini ada pencanggihan metode baru untuk melemahkan KPK dengan cara menguasai KPK.
"TWK sudah berhasil menunjukkan Cicak vs Buaya berlanjut. Kalau dari jilid satu hingga jilid tiga serangan buaya dari luar berupa kriminalisasi, maka di jilid keempat ini serangan buaya dari dalam (internal KPK)," ujar Asfinawati dalam acara nobar dan diskusi KPK the Endgame di Tangerang, Sabtu (5/6) malam.
Asfinawati menuturkan, pertanyaan-pertanyaan janggal dan berkesan main-main selama proses TWK juga semakin menunjukkan Indonesia sudah dikuasai oleh para koruptor. Karena, dalam proses pelaksanaan TWK melibatkan sejumlah lembaga negara, seperti Badan Kepegawaian Negara hingga Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Bahkan, sejak proses seleksi pimpinan KPK periode 2019-2023 yang meloloskan calon bermasalah. Dengan demikian, kini Asfinawati melihat KPK praktis sudah dikuasai dari dalam.
"Indonesia ini sudah dikuasai koruptor. Jadi, ini bukan hanya endgame KPK, tapi ini endgame untuk rakyat," katanya menegaskan.
"Masalah ini pun lebih dari serangan koruptor terhadap pemberantasan korupsi, tapi juga serangan terhadap demokrasi dan hak kita sebagai rakyat sangat terancam," ujarnya.