Selasa 08 Jun 2021 12:01 WIB

Pakar: Pasal Penghinaan Presiden tak Boleh Multitafsir

Dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, tidak boleh terjadi penghinaan.

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Suparji Ahmad
Foto: istimewa/doc pribadi
Suparji Ahmad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Suparji Ahmad menanggapi secara positif pasal penghinaan presiden yang dimasukkan dalam R-KUHP. Karena baginya dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, tidak boleh terjadi penghinaan. 

"Namun demikian, pasal tersebut harus jelas, tidak “abu-abu”, tidak multitafsir, dan memenuhi prinisp lex scripta, lex certa, lex stricta dan lex praevia. Lex scripta artinya hukum pidana tersebut harus tertulis," ujar Suparji dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/6).

Lanjut Suparji, Lex certa artinya rumusan delik pidana itu harus jelas. Maka dengan demikian, kata dia, Lex stricta artinya rumusan pidana itu harus dimaknai tegas tanpa ada analogi, dan lex Praevia yang aritnya hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut.

"Rumusan pasal dalam hukum harus jelas dan tegas, tidak boleh ada yang bias atau multitafsir yang justru akan memunculkan masalah baru," tutur Suparji.

Suparji juga sependapat jika penghinaan presiden menjadi delik aduan absolut. Dia menegaskan, bahwa jika menjadi delik umum, maka rawan terjadi penafsiran hukum yang cenderung subjektif.

Sementara kalau delik aduan artinya penghinaan harus dilaporkan oleh presiden sendiri atau pihak yang mendapat kuasa dari Presiden. 

"Simpatisan atau pendukung tidak bisa secara serta merta melaporkan jika ada dugaan penghinaan presiden, tetapi  harus mendapat kuasa dari Presiden," ulasnya.

Menurut Suparji, norma yang dirumuskan harus diatur secara jelas dan detail tentang teknis pengaduan . Selain itu, juga harus bisa dibedakan mana ujaran kebencian, mana yang kritik, mana membela diri atau mana yang untuk kepentingan umum. Maka jangan sampai ada pengaduan warga negara hanya karena perbedaan pendapat. 

"Pemahaman filosofis, yuridis dan sosiologis terhadap apa itu penghinaan, hate speech dan kritik sangat diperlukan," ucapnya.  

Karena itu, Suparji menegaskan, harus diperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006, yang pada pokoknya membatalkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP. 

Dia juga berpesan kepada masyarakat agar memberikan kritik yang membangun dan tidak menggunakan ujaran kebencian. "Sampaikan kritik secara rasional, konstruktif, dengan elegan dan data yang jelas. Bukan hanya dengan emosional, maki-maki atau penghinaan," ucap Suparji. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement