REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON --- Koordinator kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden untuk kawasan Indo Pasifik, Kurt Campbell, mengatakan pada Selasa (8/6) situasi di dalam pemerintahan militer Myanmar sangat memprihatinkan dan terus memburuk. Amerika Serikat sedang melihat semua kemungkinan skenario di Myanmar.
"Tidak dapat disangkal bahwa kekerasan meningkat. Saya akan mengatakan situasi di dalam negeri mengkhawatirkan. Dan situasinya terus memburuk. Saya pikir kita melihat semua skenario," ujar Campbell.
Puluhan ribu orang dari berbagai kalangan telah bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil dan menolak bekerja di bawah junta militer yang merebut kekuasaan dari pemerintah sipil. Protes pro-demokrasi telah terjadi di kota-kota besar di seluruh negeri sejak kudeta dan berujung dengan kekerasan.
Aksi protes harian terhadap militer telah berkembang menjadi pemberontakan oleh kelompok bersenjata di beberapa negara bagian Myanmar. Hal ini mendorong warga Myanmar yang tinggal di perbatasan mengungsi ke Thailand maupun India untuk menghindari konflik.
"Kami melihat tidak hanya tantangan dari pemberontakan etnis, tetapi oposisi yang semakin terorganisir dan terarah," kata Campbell.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan pada Selasa sekitar 100 ribu orang di negara bagian Kayah, Myanmar telah mengungsi karena pertempuran. Mereka melarikan diri dari serangan yang membabi buta oleh pasukan keamanan di daerah sipil.
Campbell mencatat, dalam sebuah wawancara yang disiarkan oleh televisi militer, pemimpin kudeta Myanmar Min Aung Hlaing mengakui dia tidak mengantisipasi tingkat kerusuhan sipil. Campbell mengatakan Washington mendukung upaya ASEAN untuk mulai melakukan diplomasi dan meredakan ketegangan di Myanmar. Campbell juga mendesak negara-negara mengisolasi para jenderal secara diplomatis.
Sebelumnya utusan ASEAN meminta junta Myanmar untuk membebaskan semua tahanan politik dan menyerukan implementasi konsensus lima poin yang telah disepakati sebelumnya untuk mengakhiri kekacauan sejak kudeta 1 Februari. Utusan ASEAN bertemu dengan pemimpin junta Min Aung Hlaing di ibu kota Myanmar, Naypyidaw, pada Jumat lalu.
Tujuan kunjungan itu adalah untuk membahas upaya Myanmar mencapai solusi damai untuk kepentingan rakyatnya, dengan menerapkan konsensus lima poin. Para utusan ASEAN juga menyerukan pembebasan semua tahanan politik, termasuk perempuan, anak-anak dan orang asing. Seruan tidak tertulis dalam konsensus tetapi didukung oleh sebagian besar negara anggota ASEAN.
Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah mengatakan pertemuan itu membahas implementasi rekomendasi survei awal ASEAN dan aksi teror oleh lawan junta. Pertemuan juga membahas rencana militer untuk mengadakan pemilihan.
Krisis Myanmar diperkirakan akan diangkat pada pertemuan khusus menteri luar negeri ASEAN-China di Chongqing pekan ini. Menteri luar negeri junta, Wunna Maung Lwin, dijadwalkan hadir dalam pertemuan tersebut.
Duta Besar China bertemu dengan panglima militer Min Aung Hlaing pada Sabtu (5/6) lalu. Surat kabar milik pemerintah China, Global Times, mengutip pemimpin junta yang mengatakan Myanmar bersedia mengoordinasikan pelaksanaan konsensus.
Duta besar mengatakan China siap mendukung pelaksanaan konsensus. Penentang junta telah mewaspadai peran China yang tidak vokal atau tidak tegas dalam mengkritik kudeta.
Junta Myanmar telah menunjukkan sedikit isyarat untuk mengabaikan konsensus lima poin yang disepakati oleh negara ASEAN pada April. Konsensus tersebut di antaranya menyerukan diakhirinya kekerasan, pembicaraan politik, dan penunjukan utusan khusus regional.