REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyarankan agar pasal terkait penghinaan presiden-wakil presiden yang diatur dalam RKUHP dialihkan menjadi ranah perdata. Sehingga penyelesaian kasusnya tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang merupakan rumpun eksekutif.
"Saya dari dulu paling benci pasal penghinaan presiden. Saya menyarankan agar dialihkan ke ranah perdata saja sehingga penyelesaiannya tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang merupakan rumpun eksekutif," kata Habiburokhman dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/6).
Habiburokhman menilai, selama pasal terkait penghinaan presiden-wapres masih dalam ranah pidana maka tuduhan pasal tersebut digunakan untuk menghabisi orang-orang yang berseberangan dengan kekuasaan akan terus timbul. Karena itu, menurutnya, seobjektif apapun proses peradilannya namun kalau kasusnya ditangani kepolisian dan kejaksaan yang masuk rumpun eksekutif, berbagai dugaan akan selalu muncul.
"Saya juga tanyakan teknis carry over (RKUHP) seperti apa, kalau hanya tindak lanjuti dari periode lalu maka langsung kita ke tingkat dua. Karena itu percuma Kemenkumham keliling Indonesia ke 11 kota meminta masukan terkait RKUHP," ujarnya.
Politikus Partai Gerindra itu meminta Kemenkumham menjelaskan terkait mekanisme carry over pembahasan RKUHP, apakah ada masukan masyarakat karena kalau secara teknis yang acuannya Pasal 71a UU nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hanya dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Menurutnya, perlu diperjelas terkait apakah mengikuti tahapan pembahasan seperti yang pernah dijalankan DPR periode 2014-2019 yang sudah disetujui di Tingkat I atau di Komisi III DPR. "Lalu apakah ketika RKUHP diajukan maka masuk tahap kedua. Apakah ada masukan seperti itu dari para ahli atau masyarakat," katanya.