REPUBLIKA.CO.ID, - Tak hanya dalam bidang ekonomi, Turki Ottoman itu juga memperkuat sektor militer dan pertahanan negerinya.
Dalam bidang angkatan laut, misalnya, Turki Utsmaniyah sesungguhnya sudah memulai reformasi sejak zaman Sultan Mehmed II Al Fatih. Sang pembebas Konstantinopel (Istanbul) itu membangun pangkalan angkatan laut di Galata atau sisi utara Golden Horn, yakni wilayah Istanbul yang masuk dataran Eropa.
Pada era Selim I, basis pangkalan militer juga diperkuat di Semenanjung Gallipoli, masih sekitaran Golden Horn.
Selama dipimpin Selim I, Turki Utsmaniyah memang tidak hanya mengandalkan kekuatan tempur di daratan, tetapi juga lautan. Diki sahkan, Sang Sultan suatu kali memanggil patihnya, Piri Mehmed Pasha.
Jika kalajengking itu (musuh yakni bangsa Eropa Barat atau Kristen) dapat mengitari Laut Tengah dengan kapal-kapal mereka, begitu pula orang-orang Venesia, Roma, dan raja-raja Prancis serta Spanyol dapat berlabuh di Thrace, itu semua karena kita menenggang mereka. Maka aku ingin kita membangun angkatan laut yang perkasa, dengan jumlah armada yang banyak, perintah Selim I.
“Tuanku, engkau memerintahkan apa yang sesungguhnya sudah tebersit dalam benak saya. Instruksi segera dilaksanakan. Prancis akan gentar begitu mendengar kabar ini,” jawab Mehmed Pasha.
Tanpa menunggu waktu lama, berbagai galangan kapal perang pun dibangun di Galata. Untuk menutupi biaya produksi, Turki Utsmaniyah menarik dana dari upeti yang disetorkan perwakilan negara-negara lain yang berdagang di kota-kota pelabuhan milik kerajaan Islam itu.
Setidaknya, per kapal memerlukan dana hingga 50 ribu koin emas. Adapun kemampuan produksi per galangan mencapai 150 unit kapal. Sejak masa kepemimpinan Selim I, wilayah Golden Horn resmi menjadi pusat pembangunan kapal dan markas administrasi angkatan laut Utsmaniyah. Nyaris tak terdengar lagi ancaman dan gangguan dari bangsa-bangsa Eropa.
Alih-alih menggertak seperti pada Perang Salib dua abad sebelumnya, bangsa-bangsa Eropa Barat justru satu per satu berupaya menormalisasi hubungan diplomatik dengan kesultanan Islam tersebut.
Sebagai contoh, Prancis yang kala itu dipimpin Raja Francis I. Otoritas paus di Roma tak pernah menyangka, raja dari Dinasti Valois itu bakal menjalin aliansi dengan Turki. Padahal, Francis I dahulu pernah bertekad akan memimpin liga kerajaan-kerajaan Eropa, dengan sokongan paus, untuk menghadapi Islam.
Tindakan sang penerus Louis XII itu seolah mengamini perkataan Kardinal Richelieu dari abad ketujuh silam, bahwa kepentingan negara berada di atas kepentingan agama.