REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPD asal Papua Yorrys Raweyai meminta pemerintah agar mengevaluasi semua hal dalam revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Termasuk, persoalan hak asasi manusia (HAM) yang saat ini menjadi permasalahan di sana.
"Tahun ini maka pemerintah melihat, mengevaluasi segala macam persoalan dengan meminta masukan dari seluruh stakeholder termasuk dari DPR dan DPD bahwa perlu ada perubahan," ujar Yorrys di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/6).
UU Otsus Papua haruslah menjadi sarana untuk menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat asli Papua. Terutama di sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur.
"Tujuannya kenapa, karena kalau berbicara tentang memproteksi, memberdayakan, dan mensejahterakan orang asli Papua," ujar Yorrys.
DPR lewat panitia khusus (Pansus) RUU Otsus Papua dan DPD ditegaskannya akan menampung semua aspirasi untuk mewujudkan undang-undang yang lebih baik bagi orang asli Papua. Semua masukan ihwal HAM ataupun usulan terkait adanya partai politik lokal dipastikan akan dibahas oleh pihaknya.
"Kami yang ada ini akan tercatat punya semangat yang sama untuk 20 tahun ke depan, bersama-sama dengan pemerintah untuk mencari satu konsep komprehensif tentang penyelesaian Papua ke depan. Inilah momentum bagi kita semua," ujar Yorrys.
Sebelumnya, Pansus Otsus Papua DPR kembali menggelar rapat pembahasan revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Ketua Pansus Otsus Papua DPR, Komarudin Watubun, mengatakan revisi UU Otsus ditargetkan akan disahkan pada Juli 2021 mendatang.
"Kalau sesuai jadwal kerja kita awal Juli itu sudah disahkan karena ini ada kaitan dengan regulasi untuk pencairan dana APBN 2022," kata Komarudin, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/6).
Komarudin mengatakan dalam rapat kerja dengan Komnas HAM hari ini, pansus diingatkan untuk menjadikan revisi kali ini sebagai momentum untuk melaksanakan pasal-pasal yang belum dilaksanakan selama 20 tahun ini. Salah satunya terkait pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, pembentukan lembaga peradilan HAM di Papua, dan perwakilan HAM di Papua.
"Dari tiga ini peradilan HAM belum dibentuk," ujarnya. Nawir Arsyad Akbar