Kamis 10 Jun 2021 05:09 WIB

Menkumham: Pasal Penghinaan Presiden untuk Lindungi Diri

Yasonna mengatakan setiap orang memiliki hak hukum melindungi harkat dan martabatnya.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/6). Rapat tersebut membahas rencana kerja bidang legislasi di tahun 2021 dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana prioritas kerja Kementerian Hukum dan HAM tahun 2021 di bidang pemasyarakatan dan keimigrasian.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/6). Rapat tersebut membahas rencana kerja bidang legislasi di tahun 2021 dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana prioritas kerja Kementerian Hukum dan HAM tahun 2021 di bidang pemasyarakatan dan keimigrasian.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, pasal penghinaan kepala negara di RKUHP bukan untuk membatasi kritik. Ia mengatakan, pasal itu ada karena setiap orang memiliki hak hukum untuk melindungi harkat dan martabatnya. 

"Pasal ini sebagai penegas batas yang harus dijaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab," kata Yasonna pada rapat kerja bersama Komisi III DPR RI dalam keterangan, Rabu (9/6). 

Baca Juga

Menurutnya, setiap orang memiliki hak secara hukum untuk menjaga harkat dan martabatnya masing-masing namun bukan dalam posisinya sebagai pejabat publik. "Kalau saya dikritik bahwa Menkumham tak becus, lapas, imigrasi, tidak masalah dengan saya. Tapi kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya, misalnya saya dikatakan anak haram jadah, enggak bisa itu," katanya.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, kebebasan yang sebebas-bebasnya itu bukan merupakan sebuah anarki. Dia berpendapat, harus ada batas-batas yang harus dijaga sebagai masyarakat beradab. 

Yasonna memastikan bahwa pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini sama sekali tak berniat membatasi kritik. Dia mengatakan, peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia membuka ruang atas kritik tersebut. 

"Bukan berarti mengkritik Presiden salah. Kritiklah kebijakannya dengan sehebat-hebatnya kritik, enggak apa-apa. Bila perlu, kalau tetap tidak puas, mekanisme konstitusional juga tersedia. Tapi, sekali menyinggung hal personal (tidak bisa)," katanya

Sebelumnya, draft RUU KUHP menjadi perbincangan akibat keberadaan pasal penghinaan kepala negara. Hal ini tertuang dalam Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden Bagian Kedua Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. 

Dalam Pasal 218 ayat 1 disebutkan bahwa: Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. Sementara Pasal 219 berbunyi: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement