Kamis 10 Jun 2021 08:53 WIB

Warga Sipil di Myanmar Timur Dilanda Kelaparan dan Penyakit

Lebih dari 100 ribu orang terpaksa meninggalkan rumah dan desa.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Para pengunjuk rasa memegang spanduk selama protes menentang kudeta militer di luar Kedutaan Besar China di Yangon, Myanmar, 13 Februari 2021. Orang-orang terus melakukan unjuk rasa di seluruh negeri meskipun ada perintah yang melarang pertemuan massal dan laporan peningkatan penggunaan kekuatan oleh polisi terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta. Militer Myanmar merebut kekuasaan dan mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun setelah menangkap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan presiden Myanmar Win Myint dalam serangan dini hari pada 01 Februari.
Foto: EPA-EFE/LYNN BO BO
Para pengunjuk rasa memegang spanduk selama protes menentang kudeta militer di luar Kedutaan Besar China di Yangon, Myanmar, 13 Februari 2021. Orang-orang terus melakukan unjuk rasa di seluruh negeri meskipun ada perintah yang melarang pertemuan massal dan laporan peningkatan penggunaan kekuatan oleh polisi terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta. Militer Myanmar merebut kekuasaan dan mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun setelah menangkap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan presiden Myanmar Win Myint dalam serangan dini hari pada 01 Februari.

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Pakar hak asasi manusia PBB di Myanmar, Tom Andrews pada Rabu (9/6) memperingatkan bahwa, banyak warga yang kehilangan nyawa karena kelaparan dan penyakit di negara bagian Kayah, di Myanmar timur. Hal ini terjadi ketika pasukan junta melanjutkan tindakan keras yang mematikan di wilayah tersebut.

"Serangan brutal junta tanpa pandang bulu mengancam kehidupan ribuan pria, wanita dan anak-anak di negara bagian Kayah. Kematian massal karena kelaparan dan penyakit terjadi dalam skala yang belum pernah kita lihat sejak kudeta 1 Februari, di negara bagian Kayah," ujar Andrews, dilansir Anadolu Agency, Kamis (10/6).

Baca Juga

Andrews mengatakan, lebih dari 100 ribu orang terpaksa meninggalkan rumah dan desa mereka untuk menghindari serangan bom dan tembakan artileri oleh pasukan junta di negara bagian Kayah. Banyak yang terpaksa masuk ke hutan tetangga tanpa makanan, air, dan tempat berlindung. Andrews mendesak semua aktor regional dan LSM untuk mengambil tindakan agar menghindari jumlah kematian warga sipil dalam jumlah besar.

"Telah dilaporkan bahwa pasukan junta menghentikan bantuan untuk menjangkau orang-orang yang putus asa ini dengan memasang blokade militer dan meletakkan ranjau darat di jalan umum," kata Andrews.

Di tengah kekacauan yang berlanjut di Myanmar sejak kudeta militer, junta melancarkan tindakan brutal terhadap warga sipil di berbagai wilayah negara itu. Negara bagian Kayah telah menjadi pusat kekerasan baru-baru ini.

Negara bagian Kayah telah menjadi pusat pertempuran sengit antara militer dan kelompok perlawanan bersenjata regional sejak 21 Mei. Pertempuran meletus ketika tentara melepaskan tembakan di daerah pemukiman Demoso dan menangkap 13 orang.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement