Kamis 10 Jun 2021 11:02 WIB

7.000 Pekerja Berpotensi kena PHK Akibat Lonjakan Cukai

Kinerja IHT pada 2020 turun 9,7 persen akibat kenaikan cukai tinggi dan pandemi.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Petani menyiram tanaman tembakau di Desa Dasok, Pamekasan, Jawa Timur, Rabu (2/6/2021). Sebanyak 7.000 orang pekerja di industri hasil tembakau (IHT) berpotensi terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kenaikan tarif cukai tembakau dan produk tembakau.
Foto: ANTARA/Saiful Bahri
Petani menyiram tanaman tembakau di Desa Dasok, Pamekasan, Jawa Timur, Rabu (2/6/2021). Sebanyak 7.000 orang pekerja di industri hasil tembakau (IHT) berpotensi terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kenaikan tarif cukai tembakau dan produk tembakau.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mencatat sebanyak tujuh ribu tenaga kerja industri tembakau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) per tahunnya. Adapun perkiraan tersebut jika adanya revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. 

Ketua Umum AMTI Budidoyo mengatakan perkiraan tersebut didasarkan atas pabrik tembakau yang berpotensi ditutup karena tekanan kerugian keuangan. 

"Seperti yang sudah disampaikan bahwa kalau nanti terjadi revisi, maka sekarang inikan sudah tertekan, industri inikan sudah tertekan dengan adanya pandemi, makanya dengan revisi PP tadi, justru semakin menekan," ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip Kamis (10/6).

Dari data IHT, dalam kurun waktu 2015-2020 adanya penurunan produksi level rata-rata 7,5 persen atau kisaran 26 miliar batang. Jika hitungannya, jika ada satu gram tembakau mengalami penurunan maka ada 26 ribu ton tembakau yang tidak terserap.

"Misalnya 26 miliar batang itu dikonversi menjadi satu gram, maka sudah ada 26 ribu ton yang tidak terserap. Belum lagi sektor tenaga kerja. Dari hasil penelitian, jika penurunan lima persen, maka ada potensi loss tenaga kerja itu sekitar tujuh ribu orang," katanya. 

Maka itu revisi PP Nomor 109 Tahun 2012, akan mendorong potensi kehilangan pekerjaan. Budidoyo menegaskan hal itu mengkhianati amanah peraturan dan perundang-undangan karena pemerintah seharusnya mengkonsultasikan kebijakan yang berdampak pada mata rantai IHT kepada para pemangku kepentingannya.

"Itu yang kita khawatirkan. Ini dari unsur petani, belum lagi kalau produksinya turun, apakah iya, penurunan preferensi merokok terjadi? Karena cukai yang tinggi rokok ilegal akan beredar begitu banyak, begitu juga sebaliknya," tutur dia. 

Dia menilai kebijakan pengendalian tembakau saat ini sudah mengatur berbagai poin untuk membatasi iklan media luar ruang, iklan televisi, tempat khusus merokok yang terpisah, dan larangan menjual rokok kepada ibu hamil dan anak di bawah 18 tahun. 

Selain itu, kinerja IHT pada 2020 sudah turun sebesar 9,7 persen akibat kenaikan cukai tinggi, dampak pandemi, serta regulasi yang terus menekan sehingga menimbulkan ketidakpastian usaha. Per April 2021, sektor IHT masih mengalami penurunan sebesar 6,6 persen. 

Menurut Budidoyo, mencuatnya desakan revisi PP 109/2012 jelas semakin memberatkan kelangsungan hidup IHT dan akan semakin merugikan enam juta orang yang menggantungkan hidupnya dari sektor IHT. Saat ini, sektor IHT sedang berupaya pulih dari dampak pandemi dan dihadapkan pada target penerimaan kepabeanan dan cukai. 

"Wacana revisi PP 109/2012 tujuannya tidak lagi melakukan pembatasan tetapi melarang total keberadaan IHT. Ini sangat disayangkan. Isu perokok pemula yang termasuk dalam fokus wacana revisi PP 109/2012 merupakan persoalan pelik, butuh sinergi kebijakan dan kontribusi seluruh pihak dan pemangku kepentingan, bukan hanya pengendalian sisi hilir,” ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement