REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana memasukkan jenis pajak baru, yakni pajak karbon. Hal ini tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam Pasal 44G, disebutkan subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau korporasi yang membeli barang mengandung karbon dan atau melakukan aktivitas menghasilkan karbon. "Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp 75 (tujuh puluh lima rupiah) per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara," tulis ayat (3) Pasal tersebut, seperti dikutip Kamis (10/6).
Nantinya, ketentuan mengenai subjek pajak karbon, tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon; dan alokasi penerimaan dari pajak karbon dalam pengendalian perubahan iklim akan diatur dengan peraturan menteri keuangan.
Sebelumnya, pemerintah mempersiapkan pajak karbon (carbon tax) untuk memaksimalkan pendapatan negara seiring pengurangan emisi gas rumah kaca. Adapun informasi tersebut tercantum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022.
"Carbon tax di Indonesia sejauh ini diistilahkan dengan pungutan karbon. Hal tersebut dikarenakan carbon tax dapat memiliki bentuk yang beragam, baik perpajakan maupun nonperpajakan," bunyi dokumen tersebut.
Alternatif pungutan pajak karbon pertama menggunakan instrumen perpajakan yang tersedia saat ini. Dimulai dari cukai, PPh, PPN, PPnBM, maupun PNBP di tingkat pusat hingga Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor di level daerah.
Kedua, pemerintah membentuk instrumen baru, yaitu pajak karbon. Namun, instrumen baru ini perlu revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). "Tidak berbeda dengan praktik pada negara lain, objek potensial yang dapat dikenakan carbon tax di Indonesia adalah bahan bakar fosil dan emisi yang dikeluarkan oleh pabrik maupun kendaraan bermotor," bunyi dokumen tersebut.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor belum dapat berkomentar terkait poin-poin perubahan dalam draf revisi UU KUP tersebut. "Sementara ini kami masih menunggu pembahasan terkait hal-hal di dalam RUU KUP tersebut. Harap maklum," ucapnya.