REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang dan jasa. Adapun rencana tersebut tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai, kebijakan ini menimbulkan tanda tanya karena kebutuhan bahan pokok merupakan bahan konsumsi dasar dari semua kelompok golongan masyarakat. Hal ini juga karena kebutuhan pokok sifatnya barang strategis yang seharusnya tidak menjadi objek pajak.
“Saat ini pemerintah dalam upaya melakukan konsolidasi fiskal dan penarikan barang-barang yang tadinya dikecualikan dari PPN menjadi potensi yang digarap, namun saya kira bahan kebutuhan pokok seharusnya bukan lah sesuatu dikenakan PPN,” ujar Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet ketika dihubungi Republika, Kamis (10/6).
Menurutnya, pemerintah bisa fokus pada barang lainnya seperti barang hasil pertambangan dan hasil pengeboran, misalnya batu bara. Sebab, selama ini bahan pokok yang dikecualikan PPN sebelumnya pergerakan harganya umumnya dipengaruhi distribusi barang, seperti biaya tanam, dan lainnya yang terbentuk pada harga pokok produksi.
“Tentu dengan wacana dikenakan PPN pada bahan pokok, bisa menambah harga pokok produksi. Hal ini kemudian besar potensinya akan berdampak pada harga bahan pangan tersebut,” ucapnya.
Jika melihat dampak ke penjual, menurutnya, tentu ada penyesuaian dari sisi harga pokok penjualan (HPP) dan dari sisi penjual ada biaya harga tambahan yang harus ditanggung pembeli. Menurutnya, pemerintah bisa saja berargumen kenaikan hanya marginal (10 ke 12 persen), tapi itu terhadap satu barang, padahal kalau kita lihat ada 14 kategori barang dari kelompok bahan pokok yang sebelumnya dikecualikan dalam PPN.
“Tentu jika diakumulasi, kenaikannya menjadi beban khususnya kelompok masyarakat menengah bawah. Apalagi jika kesejahteraan kelompok masyarakat ke bawah belum kembali seperti sebelum terjadinya pandemi,” ucapnya.