REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- SETARA Institute menyayangkan rencana hukuman pidana bagi gelandangan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). SETARA Institute memandang gelandangan ialah tanggung jawab negara.
Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani menilai, pidana denda bagi setiap orang yang bergelandangan di jalan atau tempat umum seolah menunjukkan pemerintah gagal memahami esensi perlindungan HAM. Padahal, ketentuan mengenai perlindungan gelandangan termaktub dalam konstitusi.
"Lagi-lagi, pemerintah abai terhadap amanah konstitusi bahwa negara harus hadir untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar sebagaimana terjawantahkan dalam Pasal 34 (1) UUD NRI 1945," kata Ismail usai dikonfirmasi Republika, Kamis (10/6).
Ismail mewanti-wanti pemerintah agar menaati konstitusi yang sudah ada sejak Republik ini didirikan. Dia menegaskan, pidana denda bukan langkah tepat dan bijak dalam menyikapi gelandangan.
"Alih-alih hadir untuk memelihara gelandangan, pemerintah justru menjatuhkan pidana denda," ujar Ismail.
Selain itu, Ismail menyentil, pemerintah agar sadar bahwa gelandangan merupakan tanggung jawabnya. Pemerintah harusnya berkaca, banyaknya gelandangan membuktikan warga negara tidak sejahtera.
"Gelandangan sebagai individu yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah akan masih jauhnya tingkat kesejahteraan warga negaranya," ucap Ismail.
Diketahui, gelandangan pun tak luput diancam oleh RKUHP. Gelandangan diancam dengan denda maksimal sebesar Rp 1 juta sesuai pasal 431 RKUHP yang bunyinya: "Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (maksimal Rp 1 juta)."