REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pasukan penjinak bom di Gaza, bekerja tanpa memiliki alat perlindungan yang memadai. Bahkan alat pelindungan paling dasar seperti rompi pelindung pun tak dimiliki.
Pada 19 Mei lalu, serangan rudal Israel berhasil merobek atap rumah keluarga Muhareb di Rafah, di selatan Jalur Gaza yang terkepung. Dua menit kemudian, sebuah pesawat tempur Israel menjatuhkan rudal lain, yang menabrak dua lantai rumah itu, tetapi entah bagaimana tidak meledak.
"Saudara laki-laki saya dan keluarganya, yang tinggal di lantai dua, semuanya terluka akibat rudal pengintai,” kata Waseem Muhareb dilansir dari Aljazirah, Kamis (10/6).
“Bayi saya yang berusia empat bulan koma selama dua hari, dan keponakan saya Layan yang berusia delapan tahun berada di unit perawatan intensif selama 10 hari dengan luka bakar di sekujur tubuhnya," kata Waseem.
Rumah keluarga besar Muhareb, yang dihuni 36 orang dewasa dan anak-anak, hancur. Rudal kedua telah menabrak salah satu kamar tidur anak-anak sebelum mendarat di lantai pertama.
“Tidak ada peringatan,” kata Waseem, yang keluarganya sekarang tinggal di akomodasi sewaan di dekatnya. "Seluruh cobaan itu terjadi dalam waktu tiga menit," ujarnya.
Keesokan harinya, regu penjinak bom tiba dan memindahkan persenjataan yang belum meledak, serta sisa-sisa proyektil pengintaian. Pasukan, yang beroperasi di bawah Kementerian Dalam Negeri, telah melakukan 1.200 misi untuk menetralisir, menjinakkan dan menghancurkan hulu ledak yang tidak meledak dan amunisi berbahaya di daerah pemukiman Gaza sejak 10 Mei.
Roket yang ditembakkan oleh kelompok bersenjata di Gaza menewaskan sedikitnya 13 orang di Israel. Hamas dan Israel menyepakati gencatan senjata pada 21 Mei.
Pemboman Gaza menyebabkan kerusakan infrastruktur yang meluas, termasuk penghancuran 1.800 unit rumah, 74 bangunan umum, 53 fasilitas pendidikan, dan 33 kantor media. Kerusakan pada pabrik desalinasi air juga telah menyebabkan lebih dari 250 ribu warga Palestina tanpa air minum bersih.
Kapten Mohammed Meqdad, seorang insinyur bahan peledak di kementerian dalam negeri Gaza, mengatakan, bahwa 70 orang regu penjinak bom tidak menjadi korban selama pekerjaan mereka sejak 10 Mei, meskipun kekurangan peralatan pelindung vital.
“Tim tidak memiliki rompi pelindung atau peralatan berteknologi tinggi yang dapat mengungkap keberadaan bahan peledak,” kata Meqdad. “Mereka hanya memiliki peralatan sederhana, seperti kotak peralatan yang dapat ditemukan di hampir setiap rumah," ungkapnya.
Meqdad menuturkan, bahwa masuknya peralatan pelindung yang digunakan oleh tim penjinak bom di Gaza telah dilarang, sejak blokade Gaza 13 tahun lalu. Karenanya, risiko utama yang terkait dengan pekerjaan selama serangan Israel adalah kemungkinan bahwa tim dapat menjadi sasaran.
“Risiko kedua adalah jenis amunisi yang dijatuhkan Israel, seberapa berbahayanya mereka, dan apakah teknisi yang ditugaskan dapat mengukur semua itu dengan peralatan dasar yang dimilikinya,” kata Meqdad.
Langkah terakhir dalam proses mengumpulkan dan menetralisir amunisi yang tidak meledak, adalah memindahkannya ke gudang pusat, yang terletak di Rafah, untuk persiapan penghancurannya.