REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) ke sejumlah sektor, termasuk barang-barang kebutuhan pokok. Kebijakan ini tampak seperti kebijakan yang tidak pro rakyat.
Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, rencana perubahan kebijakan perpajakan harus dilihat secara menyeluruh, bukan dilihat parsial satu persatu. Ia meminta masyarakat bijak dalam memandang rencana kebijakan pemerintah.
"Reformasi perpajakan merupakan amanah yang harus dilakukan pemerintah dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat," ujar Piter kepada Republika.co.id, Kamis (10/6).
Ia menjelaskan, reformasi perpajakan ini tidak untuk dilakukan segera tahun ini atau tahun depan, tapi akan menyesuaikan juga dengan proses pemulihan ekonomi. Rencana tersebut baru akan dibahas di DPR yang tentunya masih akan banyak perdebatan dan perubahan.
"Sebaiknya kita tetap meyakini pemerintah akan bijak dalam menetapkan berbagai perubahan perpajakan," kata Piter.
Mengenai rencana Pemerintah terkait PPN, termasuk mengenaka PPN atas barang-barang yang sebelumnya tidak kena pajak, termasuk sembako, kata Piter, tarifnya akan sangat rendah. Misalnya dengan skema final satu persen, sehingga tidak memberatkan masyarakat.
Kenaikan PPN meskipun hanya satu persen tetap akan menyebabkan kenaikan harga. Akan tetapi, ia mengingatkan, perlu dicatat, kebijakan ini masih berupa rencana yang penerapannya tidak dilakukan di tengah pandemi.
"Pemerintah hendaknya melakukan perubahan menunggu waktu yang tepat, yaitu ketika perekonomian sudah benar-benar pulih." kata dia.
Selain itu, perubahan PPN juga hendaknya dilakukan secara adil dan produktif. Pemerintah merencanakan mengubah tarif PPN tidak lagi tunggal, dengan tarif yang sama untuk semua, tapi berbeda-beda.
"Barang-barang kebutuhan pokok dikenakan PPN minimal, sementara barang- barang mewah dikenakan maksimal," kata Piter.