REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menolak memberikan penjelasan ke publik mengenai rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada sejumlah barang dan jasa tertentu. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan etika politik.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, saat ini pemerintah dan DPR belum membahas rencana revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
"Kami tentu dari sisi etika politik, belum bisa melakukan penjelasan ke publik sebelum ini dibahas, karena itu adalah dokumen publik yang belum kami sampaikan ke DPR melalui surat presiden," ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Kamis (10/6).
Menurutnya, ketika RUU KUP disampaikan pada saat Rapat Paripurna dan sudah dibahas dengan Komisi XI, barulah dia bisa menjelaskan secara menyeluruh. Menurut Sri Mulyani, pemerintah tak bisa menjelaskan informasi mengenai reformasi perpajakan tersebut hanya sekilas.
Adapun saat ini pemerintah memfokuskan pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19, sehingga dia memastikan, pemerintah bekerja secara maksimal menggunakan instrumen APBN untuk mendorong upaya pemulihan.
“Fokus kita memulihkan ekonomi seperti konstruksi pemulihan ekonomi dari sisi demand side, supply side, makanya kita petakan berapa pengusaha UMKM, menengah, besar, sampai per sektor, subsektor, mana yang mungkin meningkat, mendapatkan keuntungan dari sisi Covid, mereka yang terpukul sangat dalam, mana yang bangkitnya lebih lambat, bagaimana mendukungnya," ungkapnya.
Ke depan Sri Mulyani berupaya membangun fondasi perpajakan yang sehat. Tak hanya itu, Sri Mulyani juga menegaskan reformasi perpajakan menggunakan prinsip gotong royong.
"Kita bisa melihat keseluruhannya, dan disitu kita bisa bahas mengenai apakah timing-nya harus sekarang, apakah pondasi harus seperti ini, siapakah di dalam perpajakan ini yang harus dalam prinsip gotong royong, siapa yang pantas dipajaki. Itu semua harus kita bawakan dan kita presentasikan secara lengkap," ungkapnya.