PHRI Saran Pelonggaran Pergerakan Masyarakat
Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Terasering Sriharjo merupakan salah satu wisata alam di Lembah Sungai Oya di Selopamioro, Bantul, Yogyakarta | Foto: Bilal Ramadhan/Republika
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyarankan agar pemerintah melonggarkan pergerakan masyarakat. Langkah ini untuk memulihkan industri pariwisata pada masa pandemi COVID-19 yang masih berlangsung.
Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran saat dihubungi di Jakarta, Rabu (10/6), mengatakan inti masalah matinya industri pariwisata adalah pembatasan pergerakan masyarakat yang membuatnya menjadi tidak bisa bepergian dan berwisata. Maulana mencontohkan dari sektor perhotelan yang keterisian kamar hotel sangat berpengaruh dari kebijakan pemerintah terhadap pembatasan pergerakan masyarakat.
"Kami dari industri melihatnya, sebenarnya kendala minimnya okupansi itu lebih kepada adanya kebijakan-kebijakan yang menahan pergerakan, andaikan itu dilonggarkan, okupansi akan mulai bergerak naik," kata dia.
Maulana mencontohkan larangan mudik Lebaran 2021 yang berlangsung selama dua minggu berdampak pada tingkat okupansi hotel. Dengan adanya pembatasan pergerakan masyarakat, daerah lain yang biasanya bukan menjadi destinasi mudik Lebaran seperti Bali ikut terkena dampak larangan mudik.
Terlebih lagi, larangan mudik lebih ditekankan pada ASN dan TNI-Polri yang notabene sebagai kelompok dengan ketahanan ekonomi cukup kuat di tengah pandemi COVID-19. "Tapi yang dilarang bergerak paling utama adalah ASN dan TNI-Polri, di mana mereka komponen yang saat ini masih memiliki daya beli kuat. Karena mereka tidak pernah dipotong pendapatannya. Itulah yang diharapkan oleh kami mereka ada spending," katanya.
Dia menyebutkan selama ini anggota PHRI kerap membuat program yang menarik bagi masyarakat untuk bisa meningkatkan okupansi hotel seperti work from hotel, school from hotel, dan long stay. Namun menurutnya program tersebut akan percuma apabila pembatasan pergerakan masyarakat masih terjadi.
"Sebenarnya permasalahan minimnya okupansi itu karena adanya regulasi. Jadi selama regulasi pengetatan itu ada, demand hotel tidak bisa tumbuh walaupun kita membuat banyak program," katanya.
Berdasarkan data PHRI, rata-rata keterisian kamar hotel di Bali pada kuartal pertama 2021 hanya pada kisaran angka 10 persen. Sedangkan untuk keterisian hotel di Yogyakarta pada bulan Maret 2021 sudah mencapai 34 persen.
Maulana belum mendapatkan data keterisian hotel pada bulan April dan Mei 2021. Namun, dia memprediksi okupansi hotel kembali turun dikarenakan adanya kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat seperti larangan mudik.