Jumat 11 Jun 2021 14:53 WIB

Pajak Pendidikan? Haedar: Jangan Buat Negeri Kian Kapitalis

Rencana ini perlu ditinjau ulang karena tak sejalan dengan jiwa Pancasila.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir
Foto: PP Muhammadiyah
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan kritik terhadap rencana penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) pada sektor pendidikan. Dia mengingatkan, saat ini beban pendidikan Indonesia sangat tinggi dan berat. Terlebih, pada era pandemi Covid-19.

"Lantas mau dibawa ke mana pendidikan nasional yang oleh para pendiri bangsa ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (11/6).

Baca Juga

Haedar mengatakan, di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T), pendidikan masih tertatih-tatih menghadapi segala kendala dan tantangan. Di daerah tersebut, belum ada pemerataan pendidikan oleh pemerintah. Pendidikan Indonesia juga semakin berat menghadapi tantangan persaingan dengan negara-negara lain.

"Di tingkat ASEAN saja masih kalah dan berada di bawah, kini mau ditambah beban dengan PPN yang sangat berat. Di mana letak moral pertanggungajawaban negara atau pemerintah dengan penerapan PPN yang memberatkan itu?" ujarnya.

Menurut Haedar, konsep pajak progresif, apalagi dalam bidang pendidikan, secara ideologis menganut paham liberalisme absolut. Dengan begitu, hal itu perlu ditinjau ulang karena tidak sejalan dengan jiwa Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia yang mengandung spirit gotong royong dan kebersamaan.

"Apakah Indonesia akan semakin dibawa pada liberalisme ekonomi yang mencerabut Pancasila dan nilai-nilai kebersamaan yang hidup di Indonesia? Masalah ini agar direnungkan secara mendalam oleh para elite di pemerintahan," tuturnya.

Haedar juga mengungkapkan, para perumus konsep kebijakan dan pengambil kebijakan di Republik ini semestinya menghayati, memahami, dan membumi dalam realitas kebudayaan bangsa Indonesia. Dia meminta agar tidak membuat Indonesia semakin menganut liberalisme dan kapitalisme.

"Jangan bawa Indonesia ini menjadi semakin menganut rezim ideologi liberalisme dan kapitalisme yang bertentangan dengan konstitusi, Pancasila, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia," ujarnya.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement