REPUBLIKA.CO.ID, oleh Novita Intan
Pemerintah mengatakan rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada kebutuhan pokok dilakukan demi keadilan masyarakat. Sebab selama ini, kelompok menengah atas juga menikmati PPN nol persen pada kelompok barang dan jasa tertentu, termasuk kebutuhan pokok.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan kondisi ini juga terjadi terhadap seluruh jasa kesehatan baik, bagi orang miskin ataupun operasi plastik bagi kalangan tertentu. Hal yang sama juga dikenakan jasa pendidikan yang dikenakan PPN baik sekolah negeri atau sekolah privat mahal sekalipun.
"Menurut hemat kami ini tidak adil dan tidak fair, sehingga kita kehilangan kesempatan memungut pajak dari kelompok kaya untuk diredistribusi ke orang miskin. Saya sepakat bahwa kita harus selektif, targeted hanya instrumen yang berbeda," ujarnya saat webinar Arah Kebijakan Pajak di Kala Pandemi, Jumat (11/6).
Yustinus menyebut pemerintah terlalu banyak memberikan pengecualian PPN. Selain itu, kebutuhan pokok yang dikecualikan dari PPN juga banyak dikonsumsi kalangan atas.
"Terlalu banyak pengecualian saat ini, buktinya ada daftarnya. Ilustrasinya jika saya konsumsi telur omega, dan Pak Anthony telur ayam kampung di pasar, sama sama nggak kena PPN," ucapnya.
Dia mencontohkan beras premium maupun beras dari Bulog, yang saat ini sama-sama tidak dikenakan PPN. Begitu juga dengan daging biasa dengan daging wagyu atau daging ayam yang semuanya tidak dikenakan PPN.
"Padahal daya beli konsumennya berbeda, jenis, harga, daya beli berbeda. Kita masukkan dalam keranjang sama itu jadi problem," ungkapnya.
Sementara Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, menambahkan skema ini memberikan rasa keadilan dengan pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah atau sangat mewah.
“Juga pengenaan tarif lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah," ucapnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyayangkan kegaduhan di tengah masyarakat mengenai isu pajak barang dan jasa. "Di-blow up seolah-olah tidak memperhatikan situasi sekarang. Kita betul-betul menggunakan instrumen APBN karena memang tujuan kita pemulihan ekonomi dari sisi demand side dan supply side," ujarnya, saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR seperti dikutip Jumat (11/6).
Menurutnya RUU KUP tersebar ke publik dengan aspek-aspek yang terpotong dan tidak secara utuh, sehingga menyebabkan kondisi menjadi kikuk. "Situasinya menjadi agak kikuk karena ternyata kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga, yang keluar sepotong-sepotong," ucapnya.
Meski demikian, dia menuturkan pemerintah masih belum bisa menjelaskan secara detail mengenai isu ini karena dari sisi etika politik memang belum ada pembahasan dengan DPR. "Dari sisi etika politik, kami belum bisa menjelaskan sebelum ini dibahas. Karena ini adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui surat presiden," ucapnya.
Sri Mulyani memastikan saat ini pemerintah masih terus memetakan dampak-dampak pandemi Covid-19 terhadap masyarakat termasuk para pengusaha UMKM. Hal tersebut sejalan dengan kesepakatan pemerintah untuk menyehatkan kembali APBN dengan tetap menjaga momentum pemulihan, seiring pembangunan pondasi ekonomi dan perpajakan agar tetap kuat ke depannya.
"Sampai hari ini kita juga sudah diminta memikirkan UMKM yang bangkitnya lebih lambat. Jadi fokus kita adalah memulihkan ekonomi," katanya.
Ketua Komisi XI DPR RI, Dito Ganinduto, mengaku para anggota dewan yang berada komisinya belum menerima draf RUU KUP tersebut. "Sampai sekarang belum dibahas di Bamus (Badan Musyawarah DPR) kita belum terima draf dari pemerintah," ujarnya.
Sementara Anggota Komisi XI DPR, Andreas Eddy Susetyo, menambahkan sebagai mitra utama Kementerian Keuangan sekaligus sebagai anggota komisi yang membidangi keuangan negara juga belum memegang draf tersebut. Dia juga merasa dilangkahi dengan beredarnya draf RUU KUP. Bahkan dia menerima draf yang beredar tersebut dari salah satu pedagang pasar di Malang Jawa Timur.
"Sebagai mitra kami terkagetkan ketika media bahkan saya dapat dari pedagang pasar di Malang, missed call saya berkali-kali dikiranya saya tidak mau menerima. Kemudian saya respons lagi rapat. Lalu mereka bertanya "masa DPR tidak tahu" ceritanya.
Padahal, dalam panja pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pemerintah dan DPR sudah sepakat hal-hal yang menyangkut revisi UU KUP tidak dibahas dahulu sampai dengan draf tersebut berada tangan DPR. "Dalam hal ini, untuk membangun kemitraan lebih baik, kami minta klarifikasi, kenapa ini bisa muncul dan kemudian kami dewan merasa terpojok karena kami sampaikan kita memang belum bahas ini," jelasnya.
Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menyatakan pembahasan revisi perpajakan akan segera dibahas bersama pemerintah dalam waktu dekat. Setidaknya pada masa sidang yang berakhir pada 16 Juli 2021 mendatang.
"Akan ada perkembangan pembahasan untuk RUU KUP yang akan bergulir. Insya Allah pada sidang kali ini, tentu di Komisi XI," ujarnya.