REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar Puteri Komarudin meminta Kementerian Keuangan mengoreksi rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok. Puteri mengaku memahami tingginya kebutuhan untuk mengejar target penerimaan negara. Namun, ia meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani mencari jalan lain agar tidak menambah beban masyarakat menengah-bawah.
“Mayoritas pembeli barang kebutuhan pokok saat ini mengalami penurunan daya beli akibat pandemi. Seharusnya kita fokus untuk menjaga kemampuan konsumsi bagi kalangan tersebut,” tutur Puteri dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Jumat (11/6).
Puteri mengingatkan agar Kementerian Keuangan melihat kontribusi konsumsi rumah tangga untuk perekonomian nasional. Menurut Puteri, komponen konsumsi rumah tangga menjadi kontributor terbesar yang mencapai sekitar 57 persen bagi perekonomian nasional. Ia menyarankan, Menkeu Sri Mulyani lebih memaksimalkan penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital, ketimbang menarik pajak pada kebutuhan pokok.
“Apalagi sektor ini justru mengalami pertumbuhan di tengah pandemi yang juga melibatkan banyak konsumen dari kalangan relatif mampu,” tegas Puteri.
Sekadar informasi, pemerintah berencana mengenakan tarif PPN pada barang kebutuhan pokok. Hal tersebut tertuang dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang beredar di media. Kategori barang kebutuhan pokok, diantaranya beras, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, susu, hingga telur.
Puteri menambahkan, pemerintah harus melihat kondisi di lapangan akibat terdampak pandemi Covid-19. Ia mengatakan, mayoritas pedagang bahan pokok di pasar maupun warung kecil umumnya pengusaha kecil-menengah dengan pelanggan dari kalangan yang sama. Padahal, mayoritas pembeli barang kebutuhan pokok saat ini mengalami penurunan daya beli akibat pandemi. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus untuk menjaga kemampuan konsumsi bagi kalangan itu.
Selain itu, Kemenkeu harus menjaga aspek psikologis yang dirasakan masyarakat saat ini. Mayoritas masyarakat akan membandingkan insentif untuk pembelian kendaraan roda empat hingga properti jika kebutuhan pokok dikenakan PPN. Pemerintah perlu mempertimbangkan prasangka seolah pemerintah tidak berpihak terhadap rakyat kecil.
“Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin hal tersebut justru bisa memicu ketegangan dan kerawanan sosial,” tegasnya.