REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang membahas regulasi mengenai uang kripto. Hal ini mengingat uang kripto masih diatur sebagai komoditas di Bappebti, sedangkan belum ada regulasi yang mengatur transaksi uang kripto.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan salah satu yang dibahas di dalam regulasi tersebut terkait pajak uang kripto.
“Selama ini itu (uang kripto) dimasukkan Bappebti karena dianggap komoditas, ini pun secara internasional kita juga perlu melihat practice seperti apa, bagaimana Kemenkeu atau bank sentral mulai step in, bagaimana bentuk regulasinya,” ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR seperti dikutip Sabtu (12/6);
Sri Mulyani menjelaskan teknologi bergerak dengan sangat cepat. Maka itu, regulasi juga harus sinkron dengan perkembangan tersebut.
“Karena kalau tidak, Indonesia juga akan ketinggalan dengan perubahan yang begitu besar,” jelasnya.
Adapun saat ini uang kripto menjadi sangat populer masyarakat akibat banyaknya likuiditas, sehingga orang mencari instrumen yang memiliki imbal hasil yang menarik.
“Jadi ironi, likuiditas banyak banget, tapi mencari tempat untuk penyalurannya, sehingga either mereka lari ke SBN atau kalau di AS ke Fed, atau ke cryptocurrency tadi,” ungkapnya.
Sementara itu Anggota Komisi XI Andreas Eddy menambahkan saat ini jumlah investor uang kripto lebih banyak dari investor di pasar modal. Namun, pemerintah belum memiliki cara untuk memajaki investor uang kripto.
“Contohnya saya lihat sekarang sektor untuk kejar penerimaan pajak. Ada satu movement investor di pasar modal 3,8 juta ini kan bisa di-track datanya di kustodian efek, tapi kalau investor kripto 5,6 juta itu lepas dari pemajakannya. Ini yang harus dipikirkan bagaimana,” ungkapnya.
Dirjen Pajak Suryo Utomo menjelaskan saat ini pihaknya tengah melakukan diskusi bagaimana pemajakan Bitcoin Cs. Menurutnya secara logika, persoalan Bitcoin dan uang kripto lainnya ini sama seperti investasi, sehingga ada keuntungan yang ditimbulkan.
"Pada waktu investasi tadi bertambah lebih besar, investasi Rp 1 juta bertambah menjadi Rp 3 juta. Jadi ada keuntungan di investor Rp 2 juta. Bagaimana memajakinya?," kata Suryo.
Meski begitu, dia menjelaskan, otoritas pajak harus betul-betul melihat apakah hasil investasi sebesar Rp 3 juta itu bisa ditukarkan dalam bentuk uang. Apabila sama seperti investasi konvensional lainnya, artinya ada penghasilan yang bisa dikenakan pajak.
"Nanti kita apakan? Oh memajakinya begini, nanti kita potong atau kita pungut misalnya. Jadi kami sekarang sedang betul-betul mendalaminya. Jadi bagaimana pemajakannya yaitu sama seperti penerima penghasilan yang lain," jelasnya.
Namun Suryo menyebut Ditjen Pajak perlu melihat model bisnis yang ada cryptocurrency secara menyeluruh. Sebab dengan ketentuan yang ada, undang-undang (UU) yang bisa diterapkan untuk uang kripto adalah UU Pajak Penghasilan (PPh) atau UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).