REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman, menyoroti keberadaan pasal 218 dalam draft Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Ia khawatir ke depan pasal tersebut menjadi alat bagi penguasa untuk membungkam kritik.
"Kita khawatir keberadaan pasal ini di dalam KUHP bisa mengakibatkan tuduhan kepada siapapun yang menjadi presiden, atau siapapun yang berkuasa menggunakan kekuasaan untuk membungkam kritik, ini yang saya khawatir," kata Habiburokhman dalam sebuah diskusi daring, Ahad (13/6).
Menurutnya seobjektif apapun proses hukum yang dilakukan, pasal tersebut dinilai tetap dapat memunculkan tuduhan subjektif bahwa pasal tersebut dijadikan alat oleh kekuasaan untuk membungkam kritik. Ia mengusulkan agar pasal penghinaan tersebut dimasukan ke dalam kitab hukum perdata.
"Jadi menurut saya, daripada kita nih, saya ini kan ada di pemerintahan, terus menerus dituduh menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan, lebih baik kita alihkan ke perdata," ujarnya.
Anggota Komisi III DPR itu menjelaskan nama baik erat dengan keperdataan. Menurutnya hal yang wajar ketika ada orang yang melakukan pencemaran nama baik dihukum dalam konteks keperdataan. "Tidak di KUHP kalau menurut saya tapi diatur nanti di kitab undang-undang hukum perdata yang kita masukkan," ungkapnya.
Sementara itu Ketua Umum Jokowi Mania, Immanuel Ebenezer, menilai agar pasal penghinaan presiden tetap masuk dalam KUHP. Namun ia menilai yang paling penting saat ini menurutnya adalah adanya definisi yang jelas antara kritik dan menghina.
"Biar sama dulu penghinaan itu seperti ini, kritik ini seperti ini, itu dikasih ke publik biar rakyat itu tahu yang namanya menghina dan mengkritik," ucapnya dalam acara diskusi yang sama.