Ahad 13 Jun 2021 19:47 WIB

Ilmuwan Temukan Dampak Meteorit di Bumi

Selama ini ilmuwan berpikir tabrakan di sabuk asteroid mempengaruhi meteorit di Bumi.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Dwi Murdaningsih
Asteroid. Ilustrasi
Foto: .
Asteroid. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ilmuwan menemukan dampak meteorit di Bumi. Hujan meteor kecil (meteorit) dari luar angkasa ke planet kita selama 500 juta tahun terakhir mungkin tidak turun seperti yang ilmuwan pikirkan.

Ilmuwan menganalisis 8.484 kilogram batuan sedimen dari dasar laut purba untuk mencapai kesimpulan ini. Ilmuwan menemukan bahwa tabrakan besar di sabuk asteroid tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap jumlah dampak meteorit di Bumi, seperti yang telah diteorikan.

Baca Juga

Sabuk asteroid adalah bagian Tata Surya terletak kira-kira antara orbit planet Mars dan Jupiter. Daerah ini dipenuhi oleh sejumlah objek tak beraturan yang disebut asteroid atau planet kerdil. Temuan ini menurut para ilmuwan dapat membantu melindungi Bumi dari dampak asteroid di masa depan.

“Komunitas peneliti sebelumnya percaya bahwa fluks meteorit ke Bumi terkait dengan peristiwa dramatis di sabuk asteroid,” kata ahli geologi Birger Schmitz dari Universitas Lund di Swedia, dilansir dari Science Alert, Jumat (11/6).

“Studi baru, menunjukkan bahwa fluks malah sangat stabil,” ujarnya lagi.

Melacak sejarah meteorit Bumi tidaklah mudah. Peristiwa hantaman yang melibatkan benda besar yang meninggalkan kawah yang signifikan jarang terjadi. Banyak batu ruang angkasa pecah saat memasuki atmosfer, hanya menyisakan puing-puing yang jatuh ke Bumi.

Puing-puing inilah yang dikejar Schmitz dan rekan-rekannya. Mereka mengejar fragmen kecil mikrometeorit, terawetkan di lapisan sedimen kerak bumi. Dari dasar laut kuno di China, Rusia dan Swedia, mereka mengekstrasi ribuan kilogram batu kapur, yang mewakili 15 periode waktu yang berbeda di Eon Fanerozoikum.

Potongan batu kapur ini kemudian dilarutkan dalam asam, teknik yang memungkinkan ekstraksi spinel krom-potongan kecil kromium oksida, mineral tahan degradasi yang ditemukan di meteorit.

“Secara total, kami telah mengekstraksi kromium oksida dari hampir 10.000 meteorit yang berbeda,” kata Schmitz.

Analisis kimia memungkinkan ilmuwan untuk menentukan jenis meteorit yang diwakili oleh butiran. Menariknya, hasil mereka menunjukkan fluks yang stabil, sebagian besar terdiri dari meteorit chondritic (berbatu non-logam), mirip dengan fluks masa kini.

Pengecualian yang mencolok adalah peningkatan jenis meteorit ini 466 juta tahun yang lalu, terkait dengan pecahnya tubuh induk L-chondrite, sejenis meteorit yang sangat rendah zat besinya.

Selama waktu ini, fluks meteorit meningkat dengan faktor hingga 300 dan 99 persen butir berasal dari satu tubuh induk ini, menghilang setelah sekitar 40 juta tahun, tetapi tidak pernah berhenti. Bahkan Kamis (10/6), sekitar sepertiga dari semua meteorit yang jatuh ke Bumi berasal dari badan induk ini. Ini menunjukkan bahwa asteroid yang meninggalkan sabuk asteroid antara Mars dan Jupiter tampaknya berasal dari wilayah yang sangat kecil.

“Kami sangat terkejut mengetahui bahwa hanya satu dari 70 tabrakan asteroid terbesar yang terjadi selama 500 juta tahun terakhir yang menghasilkan peningkatan aliran meteorit ke Bumi,” kata Schmitz. “Untuk beberapa alasan, sebagian besar batu tetap berada di sabuk asteroid,” ujarnya lagi.

 

Studi ini memberikan pemahaman penting yang dapat kita gunakan untuk mencegah hal ini terjadi. Misalnya, dengan mencoba mempengaruhi lintasan benda langit yang mendekat dengan cepat. Penelitian ini telah dipublikasikan di PNAS.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement