REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Para pemimpin NATO berharap dapat membuka babak baru dalam hubungan transatlantik pada pertemuan puncak dengan Presiden AS Joe Biden pada Senin (14/6). Pertemuan tersebut fokus pada penanganan perubahan iklim, serta menghadapi kebangkitan militer China.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg menggambarkan pertemuan puncak dengan Presiden Biden sebagai momen penting. Pertemuan ini diharapkan dapat membalik keadaan yang menegangkan pada empat tahun lalu di bawah pemerintahan mantan Presiden Donald Trump.
Hal paling penting bagi para pemimpin NATO adalah mendengar Biden berkomitmen kembali pada Amerika Serikat untuk pertahanan kolektif NATO setelah era Trump. Retorika konfrontatif Trump terhadap sekutu dari 2017 hingga 2019 di KTT NATO, telah menciptakan kesan krisis.
"NATO berutang kepada miliaran orang yang kita jaga keamanannya setiap hari untuk terus beradaptasi, dan berevolusi dalam menghadapi tantangan baru dan menghadapi ancaman yang muncul," ujar Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Sejak pencaplokan Krimea oleh Rusia pada 2014, NATO telah memodernisasi pertahanannya. Tetapi mereka tetap rentan terhadap serangan dunia maya oleh Rusia. Moskow menyangkal bahwa mereka melakukan upaya untuk mengacaukan sekutu NATO.
"Ancaman dunia maya dapat muncul kapan saja selama krisis dan memicu kesalahpahaman dan sinyal yang tidak diinginkan, yang dapat memicu perang," kata kelompok peneliti Jaringan Kepemimpinan Eropa (ELN).